Bidikutama.com – Dalam satu tahun terakhir, penulis sering mendengar dan mengalami pembungkaman ekspresi di kampus yang seharusnya netral, demokratis, dan bebas dari pengaruh politik kekuasaan. Senin (18/11)
Pada 29 April 2024, diterbitkan Peraturan Rektor (Perek) yang mengatur Organisasi Kemahasiswaan di lingkungan kampus. Berdasarkan pengetahuan penulis, peraturan terkait organisasi seharusnya diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) masing-masing organisasi. Dengan adanya Perek ini, pengaturan tata cara berorganisasi oleh rektor menjadi bentuk intervensi luar biasa terhadap kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 23E (3) UUD 1945.
Mari kita telaah urgensi dari peraturan tersebut: apakah organisasi mahasiswa di kampus mengancam kedaulatan negara? Apakah pengurus organisasi mahasiswa (ormawa) memunculkan keresahan yang mengganggu kebebasan akademik atau terjadi konflik antar ormawa sehingga memerlukan Perek? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah tidak. Isi peraturan ini justru bersifat normatif dan mengancam hak mahasiswa dalam berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat.
Sebagai contoh, pada Bab XI terdapat tata cara pembekuan dan pembubaran organisasi mahasiswa, meskipun organisasi yang diakui dalam Perek seperti BEM Universitas, BEM Fakultas, Himpunan Jurusan, UKM, MPM, dan DPM merupakan inti dari struktur kampus yang seharusnya mendukung terciptanya lingkungan akademik yang demokratis. Selain itu, Pasal 7 mengubah persyaratan menjadi pengurus ormawa. Latihan Kepemimpinan (LK) yang telah menjadi budaya kampus digantikan dengan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) berbasis kurikulum Kemendikbud.
Perubahan ini tidak sepenuhnya positif karena tingkat efektivitas LKMM dinilai lebih rendah dibandingkan LK yang sudah lama diterapkan di kampus. Pasal 12 Perek juga mengubah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) DPM. Fungsi pengawasan keuangan dan kegiatan BEM yang sebelumnya dilakukan oleh DPM dialihkan kepada Wakil Dekan III dan Wakil Rektor III. Ini menunjukkan bahwa Perek lebih condong mengintervensi ormawa demi kepentingan jajaran rektorat, bukan untuk menyelesaikan persoalan yang nyata.
Situasi di kampus ini hanya salah satu contoh. Di kampus lain, peristiwa serupa terjadi, seperti Surat Edaran (SE) Nomor 259 di UIN Makassar yang menyebabkan 31 mahasiswa diskorsing, kriminalisasi terhadap enam mahasiswa di NTB, serta pembekuan BEM FISIP Unair karena kritik terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Kriminalisasi mahasiswa kritis ini tidak boleh dinormalisasi karena menciptakan efek psikologis yang menakutkan dan membatasi kebebasan berpendapat.
Jam malam yang diterapkan di banyak kampus dengan alasan mencegah kekerasan seksual sebenarnya melemahkan diskusi kritis mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa harus menyewa tempat untuk diskusi atau belajar, yang semakin membebani mereka secara finansial. Kebijakan ini memperlihatkan upaya untuk menjaga kekuasaan dengan membatasi akses mahasiswa pada ruang kritis dan pendidikan yang berkualitas.
Otonomi kampus yang semakin berlebihan berdampak buruk pada proses belajar-mengajar. Kampus yang seharusnya menjadi tempat eksplorasi ilmiah dan demokratis justru berubah menjadi alat pemuas kepentingan politik dan kekuasaan. Pemerintah mendesain kebijakan akademik agar terkekang dalam kerangka neoliberalisme, yang jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Menurut Prof. Mahfud MD, kebebasan akademik mencakup pelaksanaan fungsi ilmiah tanpa intervensi kekuasaan, termasuk kebebasan untuk belajar, mengajar, meneliti, dan berpendapat. Namun, kondisi saat ini jauh dari ideal. Banyak kampus yang menjadi ladang politik, penelitian disesuaikan dengan kepentingan tertentu, dan dosen lebih sibuk mengejar akreditasi administratif daripada membimbing mahasiswa.
Kondisi ini juga mencerminkan miskonsepsi tentang pendidikan tinggi. Kampus yang seharusnya menjadi pusat ilmu baru dan diskusi ilmiah justru gagal menyediakan ruang bagi eksplorasi dan kritik sosial. Jika ini terus berlangsung, sulit bagi pendidikan di Indonesia untuk berkembang dan berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang kritis dan rasional.
Penulis : Ananda Eka Putri/Mahasiswi Untirta
Editor : Adzika/BU