Bidikutama.com – Mungkin kita akan menghakimi ketika atheisme sebagai suatu yang salah dengan kontruksi budaya kita saat ini. Banyak pergejolakan konflik yang kita lihat dengan landasan religiusitas. Melirik kebelakang memang kita punya sejarah dengan budaya yang berunsur moderat. Tapi perkembangan zaman sepertinya tidak bisa membuat kontruksi berfikir kita menjadi lebih modern, karena unsur moderat dari budaya yang ada mendogma dan membuat pikiran kita seakan terpenjara.
Atheisme merupakan sebuah kepercayaan yang menjadikan manusia seutuhnya. Perbuatan mereka tidak mempunyai unsur pamrih, apabila mereka melakukan kebaikan hampir dipastikan yang menjadi landasan hanya pikiran yang menahkodai. Begitupun sebaliknya apabila mereka melakukan perbuatan buruk, itu hanya kecenderungan akal sehatnya yang kurang sehat. Oleh karena itu, apa benar sebuah perbuatan baik itu datang dari agama yang kita tahu bahwa agama itu telah banyak mengajarkan hal-hal baik. Mungkin kebaikan itu datang dari budaya dan pemikiran individu.
Pada dasarnya agama dijadikan sebuah pedoman atau sandaran bagi pemeluknya untuk menjadikan pemeluknya melakukan perbuatan yang baik. Mungkin sampai saat ini banyak orang percaya dengan itu dan mempercayakan agama sebagai pelindung dirinya dari malapetaka. Dengan realitas seperti itu mungkin agama bisa memonopoli kebenaran dan itu mencirikan kearogansian dari agama. Menurut Nietzsche, sebuah kebenaran itu hanya kamuflase dari hasrat inginnya berkuasa. Dia juga mengharamkan agama itu dijadikan kebenaran yang objektif, karena menurut dia kebenaran itu harus selalu dicari tanpa kita mengetahui kebenaran yang mutlak itu apa.
Dengan demikian, kekuasaan bisa saja berlandaskan agama. Karena sangat mudah memonopoli kebenaran-kebenaran yang diucapkan agama. Ini mungkin sebagai alasan bahwa atheisme tidak ingin memeluk agama apapun, karena kearogansian agama yang benar adanya bisa memonopoli kebenaran yang menganggapi diri dari setiap individu arogan terhadap kehidupan sosialnya.
Philantropis mungkin cara kita melihat seorang melakukan perbuatan baik. Karena philantropis dianggap dapat menguntungkan orang lain dan membuat kesan yang baik. Philantropis merupakan suatu bentuk kedermawanan seseorang untuk memberikan sesuatu yang biasanya dibutuhkan orang lain. Bentuk kegiatan ini sebagai salah satu yang diajarkan agama, akan tetapi seorang atheisme pun banyak yang melakukan ini.
Bila kita melihat dari sudut pandang kritis mungkin tindakan philantropis merupakan ajang politik untuk mendapatkan sesuatu dan bisa dikatakan bahwa ini adalah politik philantropis. Banyak hal seperti ini terjadi, semisal menjelangnya pemilihan umum (Pemilu) banyak aktivis politik melakukan tindakan philantropis untuk merebut pikiran dan nurani rakyat. Pelaku politik melakukan kegiatan philantropis dan diiringi penyebaran wacana-wacana yang bakal mensehjetrakan
Teori pertukaran yang diungkapkan Peter M. Blau bahwa setiap pertukaran sosial pasti ada reward dan cost. Menurut Blau juga ada dua tipe ganjaran, yaitu ganjaran instrinsik dan ekstrinsik. Instrinsik berupa kasih saying, cinta, kehormatan atau yang tidak berbentuk nyata dan ekstrinsik berupa hal-hal yang nyata seperti uang, barangatau jasa yang berbentuk nyata.
Contoh nyata dari seorang atheisme yang menyebarkan semangat philantropis yang positif adalah seorang pendiri facebook Mark Zuckerberg. Kelahiran putri pertamanya dia berniat memberikan sahamnya sebesar 99% untuk memajukan kehidupan manusia di masa depan. Mungkin Mark berfikir dengan memberikan ekonomi kepada instansi penelitian untuk kemajuan manusia bisa lebih baik, karena dia melihat manusia banyak yang membuat kerusakan. Dengan demikian, Mark mencoba memberikan pertukaran dengan bentuk philantropis dan diarahkan kepada semua umat manusia.
Melihat masalah seperti ini apa yang mendorong Mark berbuat baik. Apa agama yang selalu mengajarkan kita berbuat baik, tapi jelas Mark seorang atheisme yang mampu berfikir jernih untuk melakukan tindakan sosial. Semangat philantropis yang diberikan Mark mengalahkan manusia yang mempunyai agama. Dari pelajaran seperti ini apa mungkin kita harus menghakimi selalu bahwa atheisme merupakan bentuk kejahatan yang diarahkan ke agama.
Stop penghakiman yang dapat menimbulkan konflik, mulailah menghargai mereka yang beragama atau yang tidak beragama. Bisa melakukan suatu tindakan yang baik seperti philantropis mungkin bisa memberi kita suatu point yang baik sebagai orang yang agamis.
Dengan demikian, agama harus menjadi penyemangat buat kita untuk melakukan tindakan baik seperti philantropis. Inilah yang membedakan semangat philantropis seorang yang atheis dan yang beragama, dan pada akhirnya menciptakan kesetaraan atau keseimbangan dalam hidup yang harusnya penuh dengan makna.
Penulis : Robi Muhamad Rajab/Kontributor
Mahasiswa Sosiologi 2014, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa