Bidikutama.com – Pendidikan merupakan hak asasi bagi setiap individu yang menjadi pondasi utama bagi kemajuan dan masa depan bangsa. Pendidikan menjadi fokus utama dalam pembangunan untuk memastikan bahwa akses pendidikan terdistribusi secara merata pada seluruh lapisan masyarakat. Namun, kenyataannya di lapangan seringkali menunjukkan ketidakmerataan akses terhadap pendidikan, bahkan dalam program bantuan biaya pendidikan memiliki problematika yang cukup kompleks. Dalam beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan dengan kabar kontroversial mengenai penerima bantuan pendidikan, khususnya Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang diduga tidak tepat sasaran. Kamis (9/5)
Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) merupakan bantuan biaya pendidikan dari pemerintah untuk lulusan Sekolah Menengah Atas atau sederajat (individu) yang memiliki potensi akademik namun memiliki keterbatasan finansial dalam mengakses pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam kasus ini, sejumlah mahasiswa dari universitas ternama menjadi sorotan publik lantaran memamerkan gaya hidup mewah dalam akun media sosial miliknya. Berdasarkan pada fakta yang ada, mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa penerima bantuan biaya pendidikan KIP-K yang pada kenyataanya jauh dari kriteria mahasiswa penerima KIP-K. Hal ini menimbulkan kontroversi yang mendalam, mengingat ketidaksesuaian antara tujuan program yang ingin diwujudkan dengan sasaran penerima yang seharusnya ditujukan.
Kasus ini pertama mencuat dari unggahan salah seorang mahasiswa Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, Cantika Mutiara Johari, yang membagikan foto dan cuitan mengenai gaya hidupnya yang mewah di media sosial X yakni @digidegu seperti kepemilikan iPhone, iPad, sepedah motor, tas-tas branded, hingga laptop. Unggahan tersebut menjadi viral karena diketahui bahwa Cantika merupakan penerima KIP-K, yang seharusnya diperuntukkan bagi mahasiswa dengan keterbatasan finansial. Setelah kontroversi meluas, Cantika kemudian memberikan klarifikasinya dan meminta maaf serta memutuskan untuk mengundurkan diri atas penyalahgunaan bantuan KIP-K yang disampaikan melalui akun media sosial X @digidegu pada Senin (29/4).
Ironisnya kasus ini membuka pengakuan-pengakuan baru dari mahasiswa lain yang juga terbukti menyalahgunakan bantuan KIP-K melalui media sosial. Banyak warganet yang mengeluhkan pengalaman serupa dengan mahasiswa lain yang memiliki gaya hidup mewah disamping menerima bantuan biaya pendidikan. Praktik serupa juga seringkali terjadi pada program bantuan pendidikan lainnya, menyoroti masalah yang lebih luas dalam distribusi bantuan pendidikan.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi, menegaskan bahwa bantuan KIP-K hanya diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari golongan yang tidak mampu dengan status yatim-piatu yang diutamakan, saat ditemui di Jakarta, dilansir Antara pada Selasa (30/4).
Ketidaksesuaian antara sasaran program KIP-K dengan kenyataan bahwa penerima KIP-K justru tidak tepat sasaran menunjukkan kekurangan dalam implementasi program dan distribusi bantuan pendidikan. Kekurangan dari implementasi ini membuktikan adanya birokrasi yang cacat atau kurang sesuai dalam melakukan verifikasi data penerima bantuan biaya pendidikan. Penyelenggara seleksi dan verifikasi dalam hal ini menjadi point penentu paling penting bagaimana bantuan tersebut dapat tersalurkan kepada penerima karena memiliki wewenang dalam menentukan atas berbagai pertimbangan yang seharusnya sesuai dengan kriteria dan tujuan dari program KIP-K.
Pada teori Karl Marx, menyoroti bagaimana suatu kelas sosial mempengaruhi distribusi kekuasaan yang menimbukan konflik dalam masyarakat kapitalis. Karl Marx merupakan seorang filsuf, sosilog, ekonom, dan revolusioner asal Jerman yang mengembangkan berbagai teori revolusioner termasuk teori kelas dan konflik. Menurut Marx dasar dari kehidupan manusia secara sosial berkaitan dengan relasi ekonomi. Relasi-relasi inilah menentukan tindakan seseorang untuk mendapatkan materi yang berorientasi pada ekonomi. Sumber daya ekonomi (materi) merupakan hal penting yang diperebutkan dalam berbagai kelompok, sementara sumber daya ekonomi itu bukan sesuatu yang tanpa batas namun semua itu terbatas. Materi inilah kemudian membentuk suatu ide atau gagasan yang akhirnya tercipta relasi sosial atas kelas-kelas yang determinan atau dominan secara ekonomi dan kelas-kelas lainnya yang tersubordinasi.
Berbicara mengenai kelas, Karl Marx sebagai pencetus teori kelas menyatakan bahwa kelas menunjuk pada setiap golongan sosial yang mempunyai kedudukan spesifik dalam proses produksi. Marx berbicara kelas dalam konteks ekonomi berdasarkan pada materialisme historis yakni kerangka konseptual dalam perkembangan masyarakat yang dimana faktor ekonomi menjadi motor utama dari perubahan sejarah. Dalam konteks ini, kelas terbagi menjadi dua yakni kelas atas pemilik alat-alat produksi (borjuis) dan kelas bawah yang tidak memiliki alat-alat produksi (proletar). Menurut Marx, sebuah kelas akan dianggap kelas ketika bukan hanya secara objektif merupakan golongan sosial dengan kepentingan sendiri, melainkan secara subjektif menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khusus yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya. Setiap kelas pada dasarnya memiliki kepentingan yang bertentangan dan mengambil sikap yang berbeda terhadap perubahan. Kelas atas berkepentingan mempertahankan status quo dan kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan sehingga hal ini menimbulkan konflik antara kedua belah pihak dalam mempertahankan kepentingan masing-masing.
Membahas konflik yang lebih luas, materialisme dialektika dapat menerangkan bagaimana suatu konflik dapat terjadi. Hukum dialektika terjadi jika ada suatu tesis dan antitesis yang akan menciptakan sintesis. Tesis dapat diartikan sebagai sebuah keadaan atau pernyataan yang eksis, antitesis diartikan sebagai sesuatu yang berlawanan atau berisi pertentangan dari keadaan atau pernyataan yang eksis (tesis), dan sintesis dapat diartikan sebagai kesatuan kontradiksi (penyelesaian dari sesuatu yang berlawanan). Sebagai contoh yang dijelaskan oleh Marx bahwa sejarah manusia merupakan sebuah dialektik adanya sebuah kapitalisme kemudian terjadilah krisis kapilatisme dan akan melahirkan sosialisme. Menurut Marx, kehidupan sosial yang maju harus terjadi sebuah konflik, karena konflik akan melahirkan kreativitas baru yakni sebuah perubahan yang lebih maju. Sehingga konflik dikatakan sebagai dasar perubahan dan perkembangan sosial.
Relevansi antara kasus kontroversi penerima bantuan biaya pendidikan tidak tepat sasaran dengan pemikiran Karl Marx terletak pada analisis struktural terhadap ketidakadilan dalam distribusi bantuan pendidikan, seperti KIP-K , yang mana menggambarkan dinamika konflik antar kelas dalam masyarakat kapitalis. Konflik antara kelas atas dan kelas bawah terlihat dalam kasus ini. Kelas atas yang seharusnya tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan pendidikan karena program yang seharusnya ditujukan untuk membantu kelas bawah yang memiliki keterbatasan. Hal ini menciptakan konflik karena kelompok yang seharusnya mendapat bantuan justru kehilangan kesempatan karena sumber daya dialihkan kepada yang seharusnya tidak memenuhi syarat. Ketidakadilan dan konflik sosial inilah merupakan bagian dari dinamika perubahan dalam masyarakat. Dalam kasus ini, ketidaksesuaian antara tujuan program (tesis) dengan praktik penyalahgunaan bantuan (antitesis) menciptakan sebuah konflik yang memicu tuntutan pada perbaikan sistem distribusi bantuan pendidikan (sintesis). Konflik tersebut menunjukkan bahwa perubahan sosial kerap kali terjadi melalui kontradiksi antara kepentingan berbagai kelas sosial.
Adapun implikasi dari kasus ini, akan menimbulkan berbagai persepsi kurang baik seperti kecurigaan dari masyarakat terhadap mahasiswa yang sebenarnya memenuhi kriteria penerima secara sah. Kondisi ini juga dapat memunculkan kecemburuan sosial dikalangan masyarakat atau mahasiswa lain yang mungkin sangat mengharapkan bantuan pendidikan tersebut. Dari kasus ini, terdapat juga dampak positif yakni meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih proaktif dan berani dalam melaporkan penyalahgunaan bantuan yang terjadi. Selain itu, kasus ini juga memberikan catatan penting bagi pemerintah maupun pihak terkait untuk melakukan evaluasi dan perbaikan sistem yang lebih baik.
Berdasarkan dari pembahasan sebelumnya bahwa program kebijakan KIP-K ini didesain khusus untuk memberikan dukungan kepada individu yang mengalami keterbatasan finansial dalam mengakses pendidikan. Bantuan biaya pendidikan yang diterima seharusnya dialokasikan dengan bijak untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang sebenarnya. Menggunakan dana bantuan pendidikan untuk keperluan lain yang sifatnya mewah, kemudian memamerkannya di media sosial atau ruang publik bukanlah tindakan bijak dan seharusnya tidak dilakukan. Memiliki barang-barang mewah yang didapat dari dana pendidikan tidaklah menjadi masalah, tetapi menjadi permasalahan ketika pemakaian dana tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal dari program bantuan yang telah ditetapkan. Tidak hanya itu, tindakan tersebut juga menciptakan persepsi negatif dimasyarakat. Oleh karena itu, penting bagi individu yang menerima bantuan pendidikan untuk memiliki kesadaran dan empati dalam memanfaatkannya dengan tepat. Selain itu, pemerintah dan pihak terkait juga perlu meningkatkan pengawasan dan verifikasi data secara tepat guna memastikan bahwa bantuan tersebut benar-benar tersalurkan kepada yang membutuhkan.
Penulis : Fesa Alyah Federiana/Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Untirta
Editor : Ardhilah/BU, Adzika/BU