Bidikutama.com – Di era digital, media sosial menjadi sarana penting dalam komunikasi politik. Platform ini memungkinkan politisi menjangkau masyarakat secara langsung tanpa bergantung pada media tradisional. Kamis (26/12)
Ridwan Kamil, yang sempat menjadi calon Gubernur Jakarta, dikenal memanfaatkan media sosial untuk membangun citra. Salah satu langkahnya, seperti mendukung tim sepak bola Persija Jakarta, menuai kritik karena dianggap sebagai strategi pencitraan tanpa substansi.
Pernyataan Ridwan Kamil tentang Jakarta sebagai “kota stres” juga memicu kontroversi. Meski mengacu pada fakta, komentar ini dinilai kurang sensitif dan tidak memberikan solusi konkret bagi permasalahan masyarakat.
Program “mobil curhat keliling” yang diusulkan Ridwan Kamil untuk mengatasi kesehatan mental mendapatkan tanggapan beragam. Program ini dianggap inovatif, tetapi kritik muncul karena solusi ini dinilai dangkal dan kurang menyasar akar masalah.
Strategi Ridwan Kamil melibatkan artis dan influencer juga menjadi sorotan tajam. Beberapa pihak menilai langkah ini manipulatif karena lebih mengutamakan popularitas dibandingkan substansi kebijakan.
Selain itu, usulan reklamasi Teluk Jakarta kembali memicu perdebatan lama. Meskipun memiliki potensi ekonomi, proyek ini dikritik karena dampak lingkungan yang serius dan minimnya relevansi dengan kebutuhan mendesak warga Jakarta.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial adalah pedang bermata dua dalam pencitraan politik. Penggunaan yang kurang bijak dapat memperburuk polarisasi, merusak kepercayaan publik, dan melemahkan kredibilitas politisi.
Pada akhirnya, media sosial seharusnya digunakan untuk menyampaikan visi yang autentik dan relevan. Dengan pendekatan yang bijak, media sosial dapat menjadi alat untuk memperkuat demokrasi dan menciptakan perubahan yang positif bagi masyarakat.
Penulis : Zaskia Amelia Ningrum/Mahasiswi Ilmu Komunikasi Untirta
Editor : Renal/BU