Bidikutama.com – Media sosial telah menjadi alat utama bagi politisi untuk membangun citra dan menarik perhatian masyarakat. Platform seperti TikTok, Instagram, dan X memberikan ruang interaksi yang lebih cepat dan personal. Jumat (27/12)
Namun, pencitraan politik yang berlebihan sering kali memunculkan masalah baru. Salah satunya adalah risiko manipulasi persepsi publik yang dapat mengaburkan fokus pada isu-isu penting.
Di Indonesia, strategi pencitraan ini semakin berkembang sejak diberlakukannya pemilu langsung pada tahun 2004. Sayangnya, strategi ini sering mengabaikan etika politik demi mengejar popularitas.
Polarisasi menjadi salah satu dampak dari pencitraan politik yang masif di media sosial. Masyarakat cenderung terpecah dalam kelompok yang saling bertentangan, melemahkan harmoni sosial.
Meski begitu, polarisasi juga memiliki sisi positif jika masyarakat mampu bersikap kritis. Fenomena ini bisa meningkatkan kesadaran terhadap isu politik dan mendorong partisipasi aktif dalam demokrasi.
Contoh menarik adalah aktivitas akun resmi Partai Gerindra di TikTok yang sangat aktif berinteraksi dengan pengguna. Strategi ini berhasil menarik perhatian generasi muda, tetapi juga menuai kritik karena dianggap terlalu fokus pada hiburan.
Beberapa kritik menyebutkan bahwa respons akun media sosial tersebut sering tidak relevan atau bahkan menyesatkan. Hal ini memunculkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang mengharapkan komunikasi politik lebih substansial.
Pencitraan politik yang hanya mementingkan popularitas tanpa tindakan nyata dapat merusak kepercayaan publik. Masyarakat yang semakin kritis tidak akan puas hanya dengan citra yang baik tanpa bukti konkret.
Media sosial seharusnya digunakan untuk menyampaikan solusi nyata atas masalah yang dihadapi masyarakat. Komunikasi yang transparan dan bertanggung jawab akan memperkuat kepercayaan publik terhadap politisi dan partai politik.
Pencitraan politik yang dilakukan secara bijak dapat menjadi alat untuk memperkuat demokrasi. Namun, jika hanya digunakan untuk eksploitasi emosi publik, hal ini akan menjadi bumerang yang merugikan politisi sendiri.
Pencitraan yang dilakukan oleh akun Partai Gerindra harus disertai tindakan nyata, bukan sekadar kesan ramah kepada netizen. Respons terhadap isu besar tidak boleh diabaikan atau disertai informasi yang menyesatkan.
Strategi pencitraan tanpa substansi berisiko merusak kepercayaan masyarakat, terutama di era kritis seperti sekarang. Media sosial harus dimanfaatkan untuk komunikasi yang bertanggung jawab, sehingga mampu memperkuat hubungan dan membangun demokrasi yang sehat.
Penulis : Dinar Ariani Putri/Mahasiswi Ilmu Komunikasi Untirta
Editor : Rani/BU