Bidikutama.com – Masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang pelaku berinisial A, yang kini telah resmi ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini memicu beragam pandangan publik, terutama karena pelaku diketahui sebagai penyandang disabilitas tunadaksa, yaitu kondisi fisik yang membatasi kemampuan bergerak atau berkoordinasi, baik sejak lahir maupun akibat cedera. Kamis (19/12)
Menariknya, kasus ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan kasus pelecehan seksual pada umumnya. Banyak pengguna media sosial memparodikan pelaku dan tindakannya, yang tidak hanya memperkeruh suasana tetapi juga berpotensi melanggengkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: apakah sorotan besar ini terjadi karena pelaku adalah seorang difabel?
Dalam diskusi publik, berbagai sudut pandang diungkap, mulai dari perspektif korban, kronologi peristiwa, hingga teknik manipulasi yang digunakan oleh pelaku. Namun, satu istilah yang relevan untuk menggambarkan situasi ini adalah ableisme, yang merujuk pada prasangka terhadap penyandang disabilitas, di mana masyarakat cenderung menganggap individu non-difabel lebih unggul atau lebih layak dibandingkan mereka yang memiliki keterbatasan. Dalam konteks kasus ini, tampaknya masyarakat lebih banyak menyoroti status disabilitas pelaku daripada tindak kriminal yang dilakukannya.
Pergeseran fokus ini patut menjadi perhatian. Ketika identitas disabilitas pelaku menjadi sorotan utama, makna dan bobot tindakan kriminal yang sebenarnya dapat terkaburkan. Akibatnya, kasus ini tidak hanya menjadi beban hukum bagi pelaku, tetapi juga menjadi beban ganda bagi komunitas disabilitas secara umum, yang harus terus berjuang melawan stigma yang terus berkembang di masyarakat.
Dilansir dari Sindonews.com dan Liputan6.com, kepolisian telah memaksimalkan pemenuhan hak-hak pelaku sebagai penyandang disabilitas, namun tetap fokus pada skema pembuktian perkara dan menjaga independensi proses peradilan.
“Setidaknya, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan,” ujar Direktur Eksekutif Centra Initiative Muhammad Hafiz, seperti yang dilansir dari Liputan6.com.
Seharusnya, masyarakat menggunakan kacamata inklusif dan menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk menyoroti esensi dari tindakan kriminal itu sendiri. Tindakan kriminal, apapun pelakunya, adalah pelanggaran terhadap hukum dan hak asasi manusia yang memerlukan perhatian serta penyelesaian serius. Fokus pada status disabilitas pelaku justru berpotensi menciptakan bias dan merugikan upaya pemberdayaan serta inklusi penyandang disabilitas.
Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan agar kita tidak terjebak dalam prasangka yang tidak adil. Melalui kasus ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menyikapi isu kriminalitas tanpa mengandung unsur diskriminasi. Identitas pelaku sebagai penyandang disabilitas seharusnya tidak dijadikan bahan ejekan atau alasan untuk mengalihkan perhatian dari tindakan kriminal yang dilakukannya. Sebaliknya, hal ini harus menjadi pengingat bahwa setiap individu, tanpa memandang kondisi fisik atau mental, memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan masyarakat.
Pada akhirnya, mari kita gunakan kasus ini untuk memperkuat komitmen bersama dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil, baik bagi korban maupun pelaku. Kesadaran ini tidak hanya akan membantu meluruskan stigma yang ada, tetapi juga memberikan ruang bagi penyandang disabilitas untuk hidup bermartabat tanpa takut akan diskriminasi.
Penulis : Nadira Kanza/Mahasiswi Untirta
Editor : Natasya/BU