Bidikutama.com — Hukum merupakan sebuah produk pikiran masyarakat yang lahir dari sebuah keinginan untuk mengatur kehidupan yang damai, tentram, dan aman. Hukum menghendaki adanya sebuah keteraturan dalam masyarakat sehingga tidak terjadi sebuah kondisi dimana manusia menjadi serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus). Hukum hendak mengekang manusia melakukan perbuatan jahat yang dapat merugikan manusia lainya. Salah satu manifestasi dari keinginan manusia untuk hidup dengan aman adalah adanya hukum pidana yang mengatur tentang segala perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap individu di masyarakat. (3/4)
Indonesia memiliki hukum pidana warisan Belanda yang telah aktif sejak dikonkordansikannya Wetboek Van Straftrecht (WVS) pada tahun 1918 ke dalam kehidupan bangsa Indonesia sebelum merdeka yang aktif hingga saat ini. Namun pada tahun 2023 lalu, Indonesia akhirnya memiliki produk Hukum Pidana baru karya anak bangsa. KUHP baru ini disebut sebagai KUHP Nasional. Terdapat berbagai macam perubahan dan perbedaan yang mendasar dari isi KUHP lama dan KUHP nasional, salah satunya adalah cara keduanya memandang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Terdapat dua teori dasar yang berkaitan dengan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, yakni teori monistis dan dualistis. Teori monistis merupakan teori yang memandang bahwasanya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan satu kesatuan, sedangkan teori dualistis merupakan teori yang beranggapan bahwa tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua hal yang terpisah. KUHP lama masih menggunakan pandangan monistis, namun KUHP nasional telah menggunakan paradigma dualistis. Dua teori tersebut berimplikasi pada rumusan pasal dalam KUHP dan putusan hakim.
Pada KUHP lama yang masih menggunakan paradigma monistis, pertanggungjawaban pidana termasuk ke dalam bagian dari tindak pidana, sehingga unsur pertanggungjawaban pidana yakni kesalahan dalam bentuknya kesengajaan dan kealpaan harus dicantumkan didalam rumusan pasal, hal ini dikenal dengan istilah kesengajaan berwarna. Beberapa tokoh yang menganut paham monistis ini salah satu diantaranya adalah Uterecht dan Van Hattum, mereka berdua menyimpulkan bahwa dalam pengertian tindak pidana secara otomatis sudah terdapat unsur perbuatan yang bersifat melawan hukum dan unsur kesalahan. Hal ini berimplikasi pada pembuktian dipersidangan dan putusan hakim.
Dalam paradigma monistis, pembuktian unsur kesengajaan haruslah dibuktikan oleh jaksa dalam surat dakwaan. Jaksa harus bisa membuktikan bahwa terdapat hubungan antara keadaan batin pelaku dengan perbuatannya. Uterecht mengatakan bahwa “Peristiwa yang oleh undang-undang disebut sebagai suatu peristiwa pidana, tidak boleh ditinjau lepas dari keadaan psikis dari pembuat peristiwa itu”. Berdasarkan pendapat Uterecht tersebut dapat disimpulkan bahwa jaksa harus bisa membuktikan bahwa unsur kesalahan yang bersifat psikologis harus dibuktikan dengan cara membuktikan adanya hubungan antara keadaan psikis pelaku pada saat melakukan perbuatannya. Kesalahan merupakan unsur yang ada dalam diri pelaku, namun dalam pembuktianya menurut Agus Rusianto tidaklah hakim mencari ada atau tidak adanya keadaan psikis pelaku pada saat melakukan perbuatan, melainkan hakim menilai keadaan psikis pelaku dengan perbuatannya. Pembuktian unsur kesalahan pasti bersifat normatif tidak psikologis, pembuktian keadaan batin pelaku secara psikologis bukan berkaitan dengan kesalahan melainkan berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid).
Pandangan monistis juga berpengaruh pada putusan hakim, dalam pandangan monistis apabila seluruh unsur dalam suatu pasal terpenuhi maka pelaku dapat dipidana, namun apabila terdapat unsur yang tidak terpenuhi maka pelaku dinyatakan bebas, apabila pelaku telah memenuhi seluruh unsur dalam tindak pidana namun terdapat alasan penghapus pidana maka pelaku dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.
Paradigma dualistis berbeda dengan paradigma monistis dalam menilai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, paradigma dualistis juga berpengaruh bagi rumusan pasal dalam KUHP sekaligus putusan hakim sama halnya dengan paradigma monistis. Pandangan dualistis merupakan pandangan yang memandang bahwasanya antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua hal yang harus dipisahkan, sehingga dalam rumusan pasal didalam KUHP nasional yang telah menggunakan pandangan ini, rumusan pasalnya tidak terkandung unsur kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban pidana, didalam pasalnya hanya terkandung unsur perbuatan yang bersifat melawan hukum. Kesengajaan yang tidak tercantum didalam rumusan pasal disebut sebagai kesengajaan tidak berwarna, Contohnya:
Pasal 458 KUHP Nasional tentang pembunuhan (dualistis): “Setiap orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”
Pasal 338 KUHP lama tentang pembunuhan (monistis): “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Terdapat perbedaan antara keduanya yakni dalam Pasal 458 KUHP nasional tentang pembunuhan tidak tercantum unsur kesalahan sedangkan dalam Pasal 338 KUHP lama masih tercantum unsur kesalahan dalam bentuknya kesengajaan. Teori dualistis merupakan teori yang terinspirasi dari teori wesenchau yang bermakna bahwa suatu rumusan tindak pidana hanya menggambarkan suatu perbuatan, tetapi belum tentu bersifat melawan hukum dan terdapat kesalahan. Teori ini berpandangan sama dengan teori dualistis, dipenuhinya seluruh unsur dalam rumusan tindak pidana belum tentu juga menggambarkan tentang adanya kesalahan sebagai pertanggungjawaban pidana.
Pembuktian unsur kesengajaan menurut teori dualistis dilakukan pasca pembuktian unsur tindak pidana, apabila seluruh unsur tindak pidana telah terpenuhi maka baru bisa dilakukan pembuktian pertanggungjawaban pidana. Apabila berbicara tentang tindak pidana maka tidak boleh sekaligus berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, begitupun sebaliknya. Pembuktian unsur adanya kesalahan atau tidak dibuktikan secara normatif melalui penilaian hakim terhadap tindakan yang dilakukan oleh pelaku, bukan mencari ada atau tidak adanya keadaan psikis pelaku pada saat melakukan tindak pidana, hal ini sukar dilakukan.
Pandangan dualistis juga sama halnya dengan pandangan monistis, berimplikasi pada putusan hakim. Apabila seluruh unsur tindak pidana telah terpenuhi sekaligus dengan pertanggungjawaban pidananya maka seorang dipidana, apabila seluruh unsur tindak pidana terbukti namun pertanggungjawaban tidak terbukti, maka seseorang diputus lepas, begitu pula apabila seluruh unsur tindak pidana tidak terbukti maka seseorang diputus bebas. Jadi unsur yang harus dibuktikan pertama adalah unsur tindak pidananya yang tercantum di dalam pasal KUHP nasional, setelah unsur perbuatan dalam pasal terpenuhi barulah dapat dilakukan pembuktian terhadap pertanggungjawaban pidananya.
Penulis : Dio Fachmi Rachmawan/Mahasiswa Fakultas Hukum Untirta
Editor : Adzika/BU