Bidikutama.com – Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) adalah salah satu bentuk lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam sektor pendidikan dengan memberikan otonomi kepada perguruan tinggi di Indonesia salah satunya di sektor keuangan. Minggu (19/5)
PTN-BH memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangan dan sumber daya lainnya, termasuk dalam menentukan besaran biaya pendidikan. Namun, meskipun bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, status PTN-BH sering kali dikritik karena dianggap merugikan masyarakat kampus.
Tulisan ini akan mengkaji beberapa aspek di mana PTN-BH dapat berdampak negatif pada mahasiswa dan masyarakat kampus lainnya, khususnya dalam hal biaya pendidikan, aksesibilitas, dan kualitas layanan pendidikan, dan masyarakat kampus.
Biaya Pendidikan yang Tinggi
Salah satu dampak langsung dari perubahan status menjadi PTN-BH adalah peningkatan biaya pendidikan. PTN-BH diberi izin untuk mendirikan sendiri biaya kuliah, yang sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri biasa. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan PTN-BH untuk mandiri secara finansial, yang berarti harus mencari sumber pendapatan di luar subsidi pemerintah. Akibatnya, pelajar dan keluarganya harus menanggung beban biaya yang lebih besar.
Peningkatan biaya ini dapat mengurangi aksesibilitas pendidikan tinggi bagi kalangan menengah ke bawah. Banyak masyarakat yang kesulitan untuk melanjutkan pendidikan mereka karena ketidakmampuan membayar biaya kuliah yang tinggi. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi di antara siswa, di mana hanya mereka yang berasal dari klas Borjuis yang dapat menikmati pendidikan berkualitas.
Hal ini pula merupakan bentuk komersialisasi dan privatisasi pendidikan, jika kita berkaca kepada amanat konstitusi dimana negara ini baru berdiri melahirkan sebuah semangat “mencerdaskan kehidupan bangsa” dengan keadaan hari ini sudah melenceng jauh dari amanat konstitusi, negara sudah meliberalisasikan pendidikan, melepas tanggung jawab dan membuatnya menjadi barang komoditi dan menjualnya kepasar bebas, seperti barang dagangan yang lain hanya yang memiliki uanglah yang bisa menikmati pendidikan.
Disini kita bisa melihat bahwa dari kampus-kampus yang sudah PTN-BH seperti UI menerapkan sistem keuangan Prosedir Operasional Baku (POB), yang menjadi jahat adalah sistem POB ini menjadi tambang pendapatan kampus yang dimana UI setelah menerapkan sistem POB tersebut meningkat sebesar 2%. POB ini merupakan biaya operasional pendidikan yang tentu mayoritas bersumber dari uang mahasiswa.
PTN-BH menjadi petaka bagi dunia akademik, karenanya perguruan tinggi mempunyai kewenangan bebas dalam mengelola serta mengatur ranah akademik dan non akademik. Alhasil PTN BH mesti memburu sumur pembiayaan Pendidikan dan sarana-sarana di perguruan tinggi menjadi dikomersialisasikan. Pada masalah seperti itu tak membuat kecil kemungkinan perguruan tinggi akan meningkatkan pembiayaan Pendidikan bagi mahasiswa-mahasiswanya serta calon mahasiswanya dengan dalih tujuan mengembangkan kebutuhan akademik. Usaha komersialisasi Pendidikan terlihat saat PTN BH memiliki kewenangan dalam mengkoordinir mandiri bidang akademiknya maupun non akademiknya, akbiat dari peristiwa seperti itu membuat usaha pengurangan bahkan pengapusan subsidi pemerintah dalam ranah Pendidikan.
Kapitalisme merayap memasuki jantung Pendidikan dengan tujuan kontruksi wacana dan struktur sosial. PTN-BH menjadi hilang ruh sebagai perguruan tinggi dengan mereduksi esensi dalam ranah Pendidikan yang outputnya demi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi pasar. Orientasi dalam ranah Pendidikan hari ini tak lain hanya memprioritaskan dan melayani persaingan global, globalisasi mengantarkan Pendidikan pada cita-cita kapitalisme yang berorientasikan pasar, berlandaskan kuantitas, dan upaya privatisasi Pendidikan. Jika dikaitkan dengan perundang-undangan ialah PTN-BH mempunyai otonom untuk mencari sumber anggaran selain Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti itu membuat perguruan-perguruan tinggi untuk meningkatkan tarifnya. Ketidak terjangkaunya biaya Pendidikan di PTN-BH membuat keresahan baru bagi mahasiswanya karena bertambahnya biaya-biaya lainnya.
Melihat undang-undang lain yakni pasal 65 UU Cipta Kerja 2020, pelaku usaha menjadi dipermudah untuk mencampuri berjalannya Pendidikan secara tidak langsung mampu menggeser peran upaya pencerdasan dan pembentukan karakter berubah menjadi usaha pengambilan keuntungan di ranah anggaran. Intinya dengan hilangnya tanggung jawab Negara dalam pemenuhan kewajiban terhadap pendidikan, maka terjadilah peningkatkan biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) atau Uang Kuliah Tunggal (UKT), PTN juga mencari dana dari sumbangan awal atau yang lebih dikenal sebagai uang pangkal. Dasar dari penerapan uang pangkal di PTN tercantum dalam pasal 8 Permenristekdikti No. 39 tahun 2017. Dalam aturan tersebut, PTN diperbolehkan untuk menarik uang pangkal kepada mahasiswa yang diterima melalui beberapa jalur, yaitu: Jalur Mandiri, Kelas Internasional, Mahasiswa Asing, dan Mahasiswa yang diterima dari jalur sarjana. Inilah solusi singkat yang diambil oleh PTN untuk memenuhi kebutuhan dananya, bukan dengan peningkatan dan perbaikan kualitas produk unggulan yang dapat menarik pihak ketiga menjalin kerjasama atau memberi hibah.
Aksesibilitas dan kualitas layanan pendidikan yang Berkurang akibat komersialisasi pendidikan
Seiring dengan meningkatnya biaya pendidikan, aksesibilitas pendidikan tinggi juga menjadi isu serius. PTN-BH cenderung lebih fokus pada mahasiswa yang mampu membayar biaya kuliah yang tinggi, yang berarti bahwa kesempatan untuk mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu menjadi berkurang. Meskipun PTN-BH biasanya menyediakan beasiswa dan bantuan keuangan, jumlahnya sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan semua mahasiswa yang membutuhkan dan kerap kali salah sasaran.
Selain itu, persyaratan dan proses seleksi beasiswa seringkali rumit dan kompetitif, yang dapat menyulitkan mahasiswa yang benar-benar membutuhkan bantuan. Akibatnya, banyak siswa potensial yang tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi mereka hanya karena ketidakmampuan finansial.
Redaksi kata beasiswa yang sering dibawakan merupakan ilusi untuk mempengaruhi dan membatasi mahasiswa, dengan persyaratan yang diberikan biasanya mahasiswa dilarang untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, dan mengkritik perguruan tinggi, dengan ancaman beasiswa akan dicabut, dan sering kali tidak tepat sasaran serta disalahgunakan oleh klas penguasa, sehingga beasiswa ini bukan kunci penyelesaian untuk seluruh masyarakat dalam mengakses pendidikan.
Meskipun salah satu tujuan utama dari status PTN-BH adalah meningkatkan kualitas pendidikan, kenyataannya tidak selalu sesuai harapan. Beberapa PTNBH justru mengalami penurunan kualitas layanan pendidikan akibat fokus pada aspek komersialisasi. Misalnya, dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan, PTN-BH dapat mengurangi investasi dalam fasilitas pendidikan, sumber daya manusia, dan penelitian. Hal ini dibuktikan dengan SK Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa No 386/UN43/KPT.HK.02/2024 Tentang Penetapan Tarif dan Layanan Fasilitas Kampus.
Pada ketetapan tersebut, mengatur tentang biaya sewa untuk fasilitas yang disediakan kampus, hal ini merupakan bentuk kongkrit bahwasanya kampus terlalu berorientasi pada komersialisasi pendidikan, mahasiswa dibebankan biaya UKT, Biaya Pembangunan untuk mahasiswa jalur mandiri, ditambah untuk mengakses fasilitas mahasiswa perlu mengeluarkan uang kembali, dan masih banyak lagi seperti biaya pelulusan dll.
Hal ini kita sudah dapat melihat dengan jelas semangat dari PTN-BH yang berorientasi pada komersialisasi pendidikan dapat mempengaruhi kualitas dari intisari pendidikan itu sendiri, kampus-kampus mulai berlomba-lomba untuk meningkatkan eksistensinya dengan menyandang status PTN-BH namun tak memperhatikan dampak yang mempengaruhi kualitas pendidikan kedepannya.
Dampak kepada masyarakat kampus Masyarakat kampus tak hanya mahasiswa dan dosen saja. Satpam, petugas kebersihan, penjaga kantin dan seluruh profesi yang ada dikampus merupakan bagian dari masyarakat kampus, akibat dari pada otonomi kampus yang dimiliki ini berpotensi membawa dampak negatif kepada seluruh masyarakat kampus.
Seperti yang terjadi belakangan ini di kampus universitas sultan ageng tirtayasa, terkhususnya permasalahan biaya sewa untuk penjaga kantin kampus A pakupatan yang mengalami kenaikan dua kali secara bertahap, permasalahan terkait kontrak sewa kantin di kampus sindang sari.
Tenaga penjaga dan kebersihan kampus yang menggunakan jasa pihak ketiga atau biasa dikenal outsourcing, hal-hal ini merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab kampus terhadap masyarakatnya, karena tidak mau menanggung biaya lainnya, seperti halnya pabrik-pabrik hari ini yang menggunakan jasa pihak ketiga atau outsourcing.
Otonomi untuk mengadakan pengangkatan/pemberhentian tenaga didik dan penerimaan jumlah mahasiswa baru juga tak selamanya membawa dampak positif, hal ini juga bisa menimbulkan potensi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan kampus,
Elite kampus mudah terdorong berpolitik praktis, dan menjadikan kampus sebagai ajang mencapai tujuan kekuasaan. Bukan kualitas tenaga didik yang diperhatikan namun kualitas kedekatan emosional antar kapitalis birokrat yang akan membawa kemunduran didalam lingkungan kampus.
Meskipun PTN-BH bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar dalam mengelola perguruan tinggi dan meningkatkan kualitas pendidikan, dampaknya terhadap siswa tidak selalu positif. Meningkatnya biaya pendidikan, berkurangnya aksesibilitas, dan potensi menurunnya kualitas layanan pendidikan merupakan beberapa permasalahan yang perlu diatasi. Untuk mengurangi dampak negatif ini, perlu adanya kebijakan yang lebih inklusif dan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa tujuan utama dari PTN-BH—yaitu peningkatan kualitas pendidikan tinggi—dapat tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat kampus.
Penulis : Jaka Pramana/Mahasiswa Fakultas Hukum
Editor : Alvina/BU