Bidikutama.com – Pada era globalisasi, banyak masyarakat Indonesia mengandalkan media sebagai sumber informasi baru karena perkembangan teknologi memudahkan akses ke informasi. Hal ini menimbulkan tantangan bagi jurnalis yang harus menjaga integritas dan netralitas dalam kondisi apapun. Pers dianggap sebagai pilar demokrasi di tengah eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang terjebak dalam kepentingan pribadi dan korupsi. Selasa (9/7)
Masyarakat menaruh harapannya pada pers sebagai pilar keempat demokrasi, namun muncul pertanyaan tentang kemampuan pers menjaga integritas dan netralitas di tengah pengaruh oligarki. Hingga saat ini, independensi media di Indonesia belum diatur secara jelas mengenai pemisahan kepemilikan editorial, media, dan kewirausahaan, menyebabkan kurangnya kode etik yang mengatur profesionalisme jurnalis. Beberapa media masih dikelola oleh individu dengan kepentingan bisnis dan politik, seperti tvOne di bawah Bakrie Group dan Metro TV yang terkait dengan Partai Nasdem, menghambat jurnalis dalam menyampaikan ekspresi dan kritik.
Intervensi dari pemilik media yang memiliki keterkaitan politik dan kepentingan pribadi mengurangi independensi jurnalis, membuat mereka tidak netral, dan terkadang terlibat dalam kegiatan politik. Pers seharusnya melayani kepentingan publik dan menjadi kunci penting dalam memproduksi berita yang independen. Fenomena “no viral no justice” mengkritik kinerja aparat hukum, menunjukkan peran pers dan media online sebagai penegak hukum baru.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers, tetapi kasus kekerasan terhadap jurnalis meningkat, dengan 67 kasus pada akhir tahun 2022, naik dari 43 kasus pada tahun 2021. Pasal 4 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, tidak dikenakan penyensoran, dan pers memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Penulis : Rizqy/BU
Editor : Adzika/BU