Bidikutama.com – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah berakhir, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pemenangnya pada 20 Maret lalu. Namun, proses lobi-melobi politik masih terus dilakukan semua pihak. (24/3)
Baik yang menang ataupun kalah. Sang pemenang yang sedang di atas angin, masih berupaya menggemukan koalisinya dengan mengundang lawannya bergabung dalam pemerintahannya nanti. Atas nama persatuan. Sementara yang kalah, masih terus berupaya membuktikan dugaan adanya kecurangan yang dialami untuk nantinya akan menjadi bahan kajian Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya terakhir penyelesaian sengketa elektoral itu. Maklum, ongkos kampanye tak semurah harga gorengan depan kampus.
Sekarang publik hanya dipertontonkan drama para elit yang bersengketa tadi. Misalnya, Isu pengguliran Hak Angket. Pada pembukaan Sidang Paripurna, 5 Maret lalu, isu ini mulai bergulir menerobos masuk ke Senayan. Melalui interupsi yang dilontarkan politikus PKB, PKS, dan PDIP, wacana Angket ditujukan untuk membuktikan adanya dugaan peran pemerintah dalam memenangi salah satu paslon pemilihan presiden. Dari dugaan politisasi bansos hingga penggerakan aparat negara untuk memenangkan pasangan tertentu.
Langkah ini sempat menjadi harapan bagi sebagian orang. Mengingat Pemilu 2024 ini penuh dengan kejanggalan dari sebelum masa pendaftaran hingga penghitungan. Sulit rasanya berharap pada MK untuk menyelesaikan polemik ini. Apalagi setelah putusan lembaga itu yang seolah memberi karpet merah meloloskan putra presiden ikut berkompetisi–meski sebelumnya terganjal aturan batas usia.
Tapi ternyata wacana Angket ini tak lain hanya bagian dari drama tawar-menawar para elit yang bertikai. Lihat saja sekarang, wacana tersebut mandek ditengah jalan. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi paslon yang kalah tak kompak menggulirkannya. Bahkan, salah satu pimpinan partai yang tergabung dengan koalisi atas nama perubahan, dengan legowonya berjabat tangan dengan calon presiden yang diduga melakukan kecurangan itu sendiri.
Secara pandangan biasa, kita bisa melihat protes-protes yang diajukan, baik melalui MK maupun Angket di DPR tak lain hanya sebatas atas faktor materil. Ongkos yang telah dikeluarkan rasanya terlalu banyak untuk dibiarkan kalah begitu saja. Politisi tentunya mencari celah agar kerugiaannya bisa ditambal. Dapat jatah satu-dua kursi menteri tentu lumayan.
Sementara itu, publik yang menyaksikan akrobat merusak demokrasi diatas mengalami kerugian yang sebenarnya lebih besar. Publik menimba kerugian moril. Berharap pada para elit dengan memberikan suaranya saat pencoblosan kemarin ternyata sia-sia. Hak Angket, yang semestinya juga menjadi kepentingan publik, terkesan mandek hanya karena lobi-lobi politik para elit.
Dan kembali lagi, publik hanya menjadi penonton dari drama itu. Layaknya menanti serial drama di Netflix, publik hanya bisa berharap adegan atau episode selanjutnya dapat sesuai ekspektasinya. Serial drama itu sepertinya menarik jika diberi judul: Wacana Angket Macet di Tangan-tangan Lengket.
Penulis: Alif Bintang, Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2021
Editor : Ardhilah/BU