Bidikutama.com – Belakangan ini muncul penyakit menular bernama Mpox, yang dikenal juga sebagai cacar monyet. Selain Mpox, ada juga penyakit berbahaya lainnya, yaitu Ensefalitis Jepang (radang otak). Namun, apa sebenarnya Ensefalitis Jepang, dan bagaimana penanganannya? Selasa (8/10)
Ensefalitis Jepang adalah infeksi yang menyebabkan pembengkakan pada otak. Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit radang otak yang disebabkan oleh virus Japanese Encephalitis (JEV). Virus ini adalah flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk dan termasuk dalam genus yang sama dengan virus dengue, Zika, demam kuning, dan West Nile. Penularannya terjadi melalui nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang terinfeksi, dengan manusia sebagai dead-end host, artinya manusia tidak menjadi sumber penyebaran lebih lanjut.
Virus JE banyak ditemukan di negara-negara Asia dengan perkiraan 100.000 kasus klinis setiap tahunnya. Virus ini umumnya menyebar di daerah pedesaan dan pertanian, terutama di sekitar persawahan dan kolam. Reservoar utamanya adalah babi, kuda, dan beberapa spesies burung, sedangkan nyamuk Culex yang menghisap darah manusia maupun hewan berperan sebagai vektor penular. Meskipun manusia dapat terinfeksi, mereka tidak dapat menularkan virus kembali melalui gigitan nyamuk. Virus ini dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa, tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak melalui gigitan nyamuk.
Sebagian besar infeksi JEV bersifat ringan atau tanpa gejala. Namun, sekitar 1 dari 250 infeksi dapat mengakibatkan penyakit parah, ditandai dengan demam tinggi, sakit kepala, leher kaku, koma, hingga kelumpuhan spastik. Masa inkubasi JEV adalah 4-14 hari, dan penyakit ini sering mempengaruhi anak-anak. Dari mereka yang sembuh, sekitar 20-30% mengalami komplikasi neurologis permanen seperti kejang, gangguan bicara, atau kelemahan anggota tubuh.
Diagnosis awal JE dilakukan melalui pemeriksaan klinis dan pungsi lumbal. Tes laboratorium, terutama pengujian antibodi IgM, diperlukan untuk memastikan infeksi JEV. WHO merekomendasikan tes ELISA penangkap IgM pada cairan serebrospinal (CSF) atau serum. Pengawasan penyakit ini sebagian besar bersifat sindromik, dengan konfirmasi laboratorium sering dilakukan di lokasi sentinel untuk memperluas cakupan pengawasan.
Hingga saat ini, tidak ada obat untuk Japanese Encephalitis. Pengobatan hanya bersifat suportif dan berfokus pada perawatan gejala. Vaksin ensefalitis Jepang tersedia untuk anak-anak dan orang dewasa, dan WHO merekomendasikan vaksinasi JE diintegrasikan ke dalam jadwal imunisasi nasional di wilayah endemis. Pencegahan tambahan bagi pelancong termasuk menggunakan obat nyamuk dan pakaian lengan panjang untuk menghindari gigitan nyamuk.
Dampak psikososial akibat kecacatan dari JE sering kali diabaikan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Individu dan keluarga yang terdampak harus didorong untuk mencari dukungan dari organisasi penyandang disabilitas lokal. Hal ini dapat membantu memberikan nasihat tentang hak-hak hukum, peluang ekonomi, dan keterlibatan sosial, sehingga memastikan mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih memuaskan.
Vaksin yang aman dan efektif tersedia untuk mencegah JE, termasuk vaksin yang dinonaktifkan, vaksin hidup yang dilemahkan, dan vaksin rekombinan hidup. WHO merekomendasikan agar vaksinasi manusia diprioritaskan di daerah endemis, karena tidak ada bukti kuat bahwa intervensi selain vaksinasi dapat mengurangi beban penyakit JE. Pelancong yang berisiko tinggi dianjurkan untuk divaksin sebelum bepergian ke daerah yang berisiko tinggi terkena JE.
Penulis : Eli Amaliyah/Dosen Keperawatan Untirta
Editor : Ardhilah/BU