Bidikutama.com – Bapak kepala desa pernah berkata bahwa panah dibuat untuk menusuk setiap bahagia menjadi murka. Suatu abad yang tak terbilang, dikatakan panah terbuat dari kumpulan tulang yang diasah, diruncingkan oleh gigi orang-orang yang melanggar amanah, dan dilumuri oleh lendir ular berbisa yang bernanah. Panah diciptakan untuk kematian.
Pada akhirnya, sebuah peraturan tak tertulis, namun tercatat dalam sejarah, segera dikeluarkan. Bersama dengan terbentuknya komisi keamanan masyarakat, bapak kepala desa mengumumkan, barang siapa yang memiliki panah adalah orang tak berakhlak dan merupakan ancaman bagi keamanan desa.
Tapi, mereka selalu menyukai panah. Tidak peduli gonjang-ganjing masyarakat tentang pola hidup mereka. Bukankah setiap filosofi bisa berbeda oleh jangka? Entah itu jangka masa, waktu, tempat, atau kepercayaan sekalipun. Dan untuk urusan keamanan, seharusnya semua orang mengerti bahwa benda paling tajam sekalipun akan menjadi benda paling tumpul, jika dipegang oleh orang-orang yang mengerti, yang paham, dan jelas pertanggungjawabannya.
Di rumah panggung khas Jawa yang berjarak 4 KM dari kantor desa, keramaian menombak waktu.
“Kakek,” Iyo mendesah, menurunkan busur panah dari genggamannya. Menggeleng sejenak, menyerah. Hal yang selalu ia lakukan jika kalut oleh kekalahan.
“Coba lagi, Iyo.” Kakek mengusap punggung Iyo, memberi semangat. Namun, Iyo malah berbalik dan berjalan lunglai, sedetik kemudian duduk di antara keluarga besarnya.
“Mending Iyo membuat anak panah saja, kek. Sebanding dengan menancapkannya tepat sasaran, kan?” celoteh Iyo yang penuh kepasrahan, membuat seluruh penghuni rumah sederhana itu tertawa.
“Kak Iyo, kasihan sekali,” goda adik sepupunya yang langsung dibalas pelototan.
Hari ini, tepat pukul 13.00 tanggal 14, setiap bulan mereka melakukan kegiatan rutin. Anak kakek yang berjumlah 4 itu berkumpul dengan serta merta memboyong keluarga masing-masing. Hal ini ditunjukkan untuk melestarikan tradisi keluarga. Meskipun tradisi itu tidak pernah lewat barang sehari pun di masing-masing rumah, tapi ini lebih dari sekadar melestarikan tradisi.
“Sudah, sudah. Ayo, yang memanahnya tepat sasaran, ikut menek ke kebun. Kita memetik sayur!” Mendengar ajakan nenek, para cucu yang berjumlah 5 pasang itu berebut untuk ikut, tak terkecuali Iyo. Meskipun panah yang ia lesatkan jauh melenceng, tapi urusan memetik sayur ia tak boleh ketinggalan. Kata kakaknya, memetik sayur bersama bisa meningkatkan rasa cinta dalam keluarga. Memperkuat ikatan naluri.
“Iyo ga boleh ikut, dong. Memanahnya jelek begitu, masa mau keluar dari rumah?” Ucapan kakak kandungnya itu membuat Iyo cemberut. Kesal. Iyo Anatyo, anak lelaki berkulit langsat itu terlahir di tengah keluarga aneh. Ya setidaknya itu menurutnya. Adakah selain keluarganya yang ketika hendak keluar harus melesatkan panah tepat sasaran terlebih dahulu? Lebih aneh lagi, jika panahnya meleset, ia akan dikurung seharian. Tidak boleh keluar.
Seluruh anggota keluarga tidak terganggu dengan peraturan itu, toh bakat memanah kakek sudah mengait di pucuk ubun-ubun mereka. Hanya Iyo, ya hanya dialah yang anak panahnya tidak pernah menancap ke sasaran yang berupa kayu berbentuk bulatan kecil. Jadi, selama hidupnya, ia keluar hanya untuk sekolah dan ke surau, itu pun diawasi kakak kandungnya. Iyo jadi tidak suka memanah. Yang ia suka dari tradisi ini hanya anak panahnya. Anak lelaki ini amat terampil membuat anak panah.
“Iyo di sini saja ya, cu. Beres-beres atau bantu bibi masak, tuh.” Nenek membujuk, namun, Iyo tetap memberenggut. “Bakat orang kan berbeda,“ gerutunya setelah nenek pergi bersama 5 cucu perempuan.
Sedangkan 4 cucu laki-laki yang lain ikut bersama kakek, memancing ke sungai dekat rumah. Iyo sendirian—tidak, maksudnya ditemani oleh ibu dan 4 bibinya. Tapi, anak lelaki di sini sekarang hanya dirinya. Iyo merasa diabaikan.
“Makanya latihan toh, le,” kata ibu dengan tangan sibuk mengolek sambal. Iyo tidak menjawab, ia sedang memperhatikan jendela samping rumah. Di luar sana, para lelaki sedang asyik memancing. Iyo semakin panas hati.
Ketika hati Iyo sedang kalut, ketika pikiran Iyo sedang panas, suara mobil menderu dari jalan sana. Decitan rem terdengar di depan rumah. Kini yang bersuara adalah derap langkah banyak orang. Menaiki tangga, menuju pintu utama.
“Hey, Kusdi! Buka pintu atau akan kudobrak!” Iyo tercekat, cepat-cepat ia berdiri, hendak membuka pintu. Namun, 1 genggaman di lengan mencegahnya, menarik untuk kembali dan bersembunyi di dalam dapur. “Jangan, le, jangan keluar!” Iyo geram seketika, dirinya serba dibatasi sekarang. Dengan perasaan kacau, ia berlari ke arah dapur. Berhenti sejenak ketika melihat para lelaki tergesa menuju pintu utama untuk keluar rumah, ia mendengus pura-pura tak peduli.
Di dapur, sudah terkumpul 10 wanita. Mau tidak mau Iyo ikut duduk bersama kerumunan itu. Menghela, dan diam sambil menerka apa yang terjadi di luar sana.
“Siapa yang datang, bu?” Suara gemetar adik sepupu yang selalu menggodanya itu membuat semua menoleh, menggeleng, tidak tahu. Tepat sedetik setelah pertanyaan itu dilontarkan, suara gebrakan pintu mencekam suasana. Teriakan demi teriakan bersahutan. Meski suara itu menggema, namun tetap ada 1 kesimpulan dari luapan lewat kata itu. Makian.
“Jangan, pak, jangan. Kami tidak mengganggu keamanan siapa- AAHHH!” Samar-samar suara kakek terdengar, diiringi suara benda-benda jatuh, juga gebuman yang memekak telinga. Satu derap langkah mendekat. Berhenti di depan pintu dapur yang terbuka.
“AYAH!” Iyo berteriak, segera berdiri. Berlari mendekat, “Ada apa, yah? Mengapa ribut sekali di luar?” Iyo gemetar, mau bagaimana pun juga ia akan tetap gentar. Sebagai lelaki, tentu ia paham suara-suara tadi. Suara-suara perkelahian.
“Bawa anggota keluarga wanita pergi, Yo. Cepat! Situasi tidak aman. Para warga dan dewan desa mengamuk! Mereka kira kita telah mengganggu keamanan karena memelihara panah! Mereka ingin kita dihukum! Cepat, lari, AAHHHH!” Iyo mundur selangkah, sedangkan tubuh ayahnya ambruk. Di belakang ayah, terlihat seorang pria berkumis dengan hunus retina yang tajam mengancam Iyo.
“Hebat! Kalian ingin lari, hah? Iyaa?” Suara itu mendesah, namun terasa amat dalam. Iyo menelan ludah pahit.
“Pak kepala, tolong jangan ganggu mereka. Mereka wanita, pak, tolong jangan masuk ke sana.” Dari belakang pria itu, kakek dan kakak datang bersedekap, memohon, mengode Iyo agar masuk kembali ke dapur, menenangkan para bidadari keluarga itu. Iyo menurut. Namun, baru saja Iyo duduk sambil memeluk ibunya, pria itu berdiri tepat di depan pintu. Mencengkeram leher kakek dan kakak kuat-kuat.
“Lihat, hah? Ini, inilah para laki-laki bersifat banci! Beraninya memakai benda tajam, pura-pura dijadikan tradisi. Apa membunuh termasuk tradisi dalam keluarga kalian?” Kepala desa itu mengangkat kerah baju kakek dan kakak kandung Iyo, tersenyum sinis sambil menatap keji ke-10 wanita yang kini terisak dalam nestapa bertepi.
Lalu, senyum pun hilang saat tatapan itu menombak retina Iyo. “Heh, anak kecil! Kenapa kau diam saja? Apa karena menyadari mereka banci, atau dirimu sendiri yang banci?” Kalimat menusuk itu diikuti terjatuhnya kakek dan kakak. Dibiarkan kedua orang itu meringis sambil duduk di depan pintu dapur. Pria dengan jabatan tertinggi di desa itu masih sempat menginjak lutut kakek sebelum pergi. Ketika para wanita hendak membantu, suara kakek terdengar lirih. “Diamlah. Ini urusan kami. Iyo, tolong jaga mereka. Kau tidak boleh keluar, Yo.” Pintu ditutup rapat-rapat.
Wajah Iyo memerah, tidak terima keluarganya diperlakukan sedemikian rupa. Tidak terima harga dirinya dijatuhkan begitu saja. Ia juga punya hasrat melawan, punya keinginan membela. Ia harus bisa. Ditendangnya pintu dapur itu, berlari menuju ruang utama.
“Cu, kembali, cu!” Iyo tetap berlari. Tidak peduli cegahan nenek ataupun siapalah yang ada di dalam dapur. Pura-pura lupa larangan keluar tanpa pendamping jika panahnya meleset dari sasaran. Ia hanya ingin membela.
Ruang utama sudah hancur total. Anak dan busur panah (sebagian hasil karya Iyo) sudah patah semua. Kursi dan meja berguling tak karuan. Barang-barang semuanya sudah hancur berantakan. Iyo yakin, semua yang terlibat perkelahian sedang di luar, setelah memporak-porandakan isi ruang utama.
“Iyo…” Kakak lelakinya dengan terengah menghampiri dari pintu utama, “Kenapa kamu ke sini?” Iyo mendengus, “Aku ingin membela keluarga kita! Kenapa? Tidak boleh? Kenapa tidak kakak gunakan saja panah untuk membunuh mer-”
“IYO!” Kakak membentak. “Panah digunakan bukan untuk mendatangkan kematian! Tapi, mencegah kematian!” Kalimat itu berhasil membekukan Iyo.
“Ahh!” Kakak memegang punggungnya, nyeri setelah dipukul dengan kayu oleh orang yang Iyo kenal sebagai pengawal kepala desa. Iyo memanas, ditendangnya pengawal kepala desa itu. Tidak mendengar teriakan kakek -yang entah sejak kapan ada di sana- memintanya untuk masuk, tidak mendengar perintah kakaknya yang menyuruh membawakan anak panah, meskipun telah patah. Amarahnya memuncak.
“Kurang ajar!” Endusan seorang warga muncul dari luar. Ketika Iyo sedang membabi buta, sebuah pistol mengarah tepat ke kepalanya. Saat peluru itu hampir tertembak, sebuah anak panah melesat tepat di lubang pistol. Mencegah peluru keluar. Anak panah lesatan kakak!
“Siapa yang mengancam keamanan? Bukankah kalian sendiri yang merusaknya, hah?” Iyo semakin kalap. Puas setelah membuat pengawal itu pingsan di tempat. Melihat sang kepala desa muncul dari luar, Iyo semakin lantang berteriak, “Heh! Kepala desa! Apa maksudmu dengan semua ini? Karena tidak suka? Kau tidak suka panahnya, atau tidak suka kebersamaan keluarga ini?”
Ketika derap langkah Iyo hendak mendekat ke arah kepala desa, kakak mencegah. “Jangan, Yo.” Bisiknya, lalu menatap penguasa desa mereka lamat-lamat. “Pak, kami mohon percayalah. Kami tidak mengancam keselamatan siapa pun. Tidak! Seharusnya bapak sebagai kepala desa ini mengerti dan membuat para warga paham, suatu permasalahan bisa diselesaikan dengan perdamaian. Bagaimana bisa kalian membela keamanan, jika kalian sendiri yang membuat semuanya kacau balau?” Kepala desa dan para pengikutnya hanya memandang tajam. Namun, luruh ketika para wanita mendekat ke arah mereka. Membawakan obat tradisional, makanan, dan minuman.
“Perkelahiannya dilanjut nanti. Istirahat dulu,“ gurauan nenek yang sedikit kaku membuat keluarganya menyeringai. Para warga memandang heran.
***
“Mengerti, Iyo?” Kakek merangkul cucunya. “Kamu sedang tidak konsentrasi saat ini. Kamu tidak pernah fokus. Kami tahu itu karena anak panahmu selalu meleset. Lihat kan, mereka yang anak panahnya selalu tepat sasaran memiliki pemikiran fokus. Tidak akan gegabah. Itulah mengapa kakek melestarikan memanah ini,” ucap kakek ketika para warga dan dewan desa pergi meninggalkan rumah mereka.
Mata Iyo melihat dari seberang sana, sebuah siluet sedang menatap mereka yang ramai menyoraki kakak. Siluet yang baru pertama kali menghadirkan sebuah ibadah paling sederhana. Senyuman. Tanpa keluarganya ketahui, Iyo melambaikan tangan pada pemilik senyuman itu. Menyampaikan perdamaian tanpa harus bersuara. Karena, meski begitu, Iyo yakin ia mengerti. Ia masih memiliki naluri. Sedetik kemudian, siluet itu mengacungkan ibu jari, tersenyum lebih lebar. Iyo menghela, itu sudah cukup untuk dirinya ketahui. “Ia tidak akan mengganggu kami lagi” ***
Penulis : Lia Sylvia Dewi (Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung angkatan 2019)
Editor : Thoby/BU