Bidikutama.com – Unsur-unsur pemerintahan, ulama, dan yang berwenang serta berkapabilitas dalam bidangnya, sudah menentukan 1 Ramadhan 1441 bertepatan dengan tanggal 24 April 2020. Artinya, ‘pesantren Allah’ sudah dibuka untuk dimulai. Sebagai muslim, siapapun pasti akan menyambutnya dengan gembira dan penuh persiapan.
Di samping itu, perlu kiranya kita memantik kembali semangat berpuasa kita di Ramadhan. Dan mestinya Ramadhan mengajarkan kita untuk membangun kesadaran sosial-kultural yang setidaknya ada dua perkara penting, yang kata Mas Dharma Setyawan, pegiat Majelis Cangkir Kamisan Lampung, biasa menyebutnya sebagai ‘Shalat Sosial’ dan ‘Zakat Pembebasan’. Yang keduanya menjadi sebab bahwa Islam tidak berhenti pada pendekatan semantik-hermeneutik, tetapi lebih jauh dari itu; Islam yang transformatif.
Yang disebut sebagai Shalat Sosial adalah kesadaran untuk bergerak bersama, berjamaah dalam berpikir, sujud saling menyadari penindasan di lingkup sosial kita yang harus diselesaikan secara komprehensif. Kesadaran tersebut bukan hanya terletak pada lapangan politik, atau kerja-kerja keduniaan yang hanya memberi kenikmatan sesaat. Adapun Zakat Pembebasan adalah sikap untuk mengeluarkan harta kita untuk membangun pemberdayaan umat, mencerdaskan kesadaran umat dengan melepaskan cangkang egonya masing-masing.
Kendati demikian, ada dua kunci yang mesti dipegang agar mampu membangkitkan kesadaran tersebut, sebagai kelanjutan Islam yang transformatif. Pertama, pengetahuan yang membutuhkan kesabaran kultural dan tidak instan. Seperti mendaras buku-buku, menulis serta berdiskusi menjadi kerja-kerja yang tidak terpisahkan dan bersifat penting agar pengetahuan memiliki resonansi yang cukup besar untuk diradiasikan.
Kedua, pengorganisasian yang berujung pada kesetiaan kita untuk membela mereka yang terpinggirkan, tertindas, dan atau yang dalam teologi Qur’an disebut sebagai mustadh’afin atau dhu’afa. Yang dalam hal ini, secara kasat menyambung kepada konsep ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo. Bahwa, menurut Kuntowijoyo, pilar penyangga semangat profetik ada tiga, yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dan hal demikian tidak bisa didapatkan dalam satu lapangan sosial. Level apapun. Dan, ini mestinya linear kepada yang mendaku sebagai aktivis-aktivis muslim. Hal tersebut bisa dicapai dengan kesadaran kolektif yang terbangun.
Kita lirik beberapa tahun terdahulu, para pemikir-pejuang dan cendikiawan muslim sedikit banyaknya telah menggagas gagasan Islam yang transformatif. Kita bisa membaca bagaimana Ahmad Dahlan mencuatkan tentang ‘Teologi al-Maun’ yang meski secara konsep tidak terlalu banyak dituangkan di atas kertas olehnya, namun implementasinya konkret. Beliau mengamalkan gagasan tersebut kedalam konteks pengentasan kemiskinan sebagai wajah praktik surah al-Maun itu. Ambil contoh, Ia mendirikan langgar (bahasa Jawa yang jika dikonversikan era kekinian semacam tempat mengaji), panti asuhan, sekolah, bahkan mahakarya terbesar dan berlanjut hingga kini adalah Ia mendirikan Muhammadiyah sebagai pengamalan jangka panjang.
Juga, di waktu yang tidak berjauhan, ada Omar Said Tjokroaminoto yang mentransformasikan ajaran Islam ke dalam gerakan-gerakan sosial pada petani dan buruh. Yang dirangkum dalam kumpulan karyanya ‘Islam dan Sosialisme’. Tentu hal tersebut menarik perhatian dan simpati lebih di kalangan masyarakat, sebab terkesan membumi. Dan beliau mampu menularkan progresifitasnya pada kebesaran Sarekat Islam.
Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, juga pernah menegaskan bahwa ada kalanya Islam bersifat oposisif terhadap kekuasaan yang menindas. Islam mesti dijadikan alat sebagai upaya melakukan kritik sosial bagi kaum termarjinalkan. Yang pada medio 1980-an dicetuskan olehnya ‘Islam sebagai Kritik Sosial’.
Atau konsep ‘Tauhid Sosial’ yang digagas oleh poltikus yang menamatkan gelar doktor ilmu politiknya di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat, Amien Rais. Menurutnya, Tauhid memiliki konsekuensi logis terhadap keshalihan sosial, tidak terbatas pada keshalihan spiritual saja. Bertauhid harus sejalan dengan menegakkan keadilan dalam seluruh aspek dan sendi kehidupan, sebab bertauhid mesti mencerminkan kebertuhanan. Nilainya harus transformatif dan diwujudkan dalam bentukan etika sosial-politik oleh umat muslim.
Gagasan dan konsep tersebut pada dasarnya muncul pada latar belakang yang berbeda, baik waktu maupun preferensi pemikirannya. Tapi, membentuk lingkaran yang sama, yakni Islam yang transformatif.
Keberhasilan transformasi Islam yang mampu memecahkan masalah dan ketegangan sosial pada hakekatnya mesti dimulai pada individu yang antara iman dan amal shalinya saling terintegrasi. Dalam hal ini masuk pada tataran konsep hablum-minallah dan hablum-minannas. Ada semangat transendensi untuk melakukan perubahan. Sebab ini berkesinambungan dengan tujuan puasa yang difirmankan Allah swt, yaitu menjadi la’allakum tat-taquun, orang-orang yang bertaqwa (al-Baqarah: 183).
Jika kita jujur, kita tidak akan menafikan bahwa Islam menyuruh kita pertama kali untuk membaca, iqra. Yang kemudian menelurkan semangat profetik untuk melakukan emansipasi, mengeluarkan manusia dari jerat jahiliyah. Betapapun Nabi Muhammad saw diperintah oleh Allah agar tidak mengalienasikan ibadah dengan kehidupan sosial dan mengesankan tidak dilakukan secara ‘sekuler’ antara akhirat dan dunia.
Kembali lagi, dua instrumen penting dalam mentransformasikan Islam ke dalam kerja-kerja sosial adalah pengetahuan dan pengorganisasian. Sebabnya, puasa tidak hanya dimaknai sekadar ajang menahan nafsu lapar dan dahaga, tetapi mencakup ibadah-ibadah lainnya yang secara tidak sadar kita terperangkap pada budaya kolot dan tidak bersahabat dengan kehidupan sosial. Semisal shalat tarawih yang kebanyakan fenomena kalangan kita adalah, ramai di awal dan sepi di akhir. Disinyalir hal tersebut akibat budaya konsumtif yang buruk, seolah-olah momen ‘Lebaran’ menjadi ajang untuk menambah daya konsumsi dan berdampak pada membludaknya pusat-pusat perbelanjaan. Juga tadarrus Qur’an yang mestinya mengajarkan kita untuk mempraktikannya tidak hanya sekadar seremonial membaca pada tataran teks. Tapi juga memperhatikan pada tataran yang lebih tinggi, yakni membaca realitas sosio-kultural dengan perspektif struktural. Sebab Ia juga bagian dari ciptaan Allah swt. Kemudian zakat, yang merupakan ibadah mahdhah. Dimensi zakat pada konteks sosial sangat luas; solusi atas kemiskinan.
Ramadhan mesti jadi sarana yang relevan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas dirinya sendiri, hamba terhadap Tuhannya, yang tidak diberikan bahkan terkesan gagal oleh sistem kapitalisme yang menggigit.
Raih dan jemputlah juga Lailatul Qadar dengan praktik-praktik sosial. Mari sama-sama kita menemukan relevansi hablum-minallah dan hablum-minannas pada bulan Ramadhan ini.
Penulis: Aldi Agus Setiawan (Mahasiswa Ilmu Perikanan, Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) angkatan 2015 yang juga aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Perikanan (Himapi) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Editor: Thoby/BU