Bidikutama.com – Sejak pertama kali muncul akhir tahun lalu di kota Wuhan, China, Virus Corona seakan memberi kabar kepada warga dunia bahwa kemunculan virus ini seperti terbukanya kotak Pandora yang diberikan oleh para dewa kepada wanita pertama, Pandora, pada pesta pernikahan dirinya dengan Epimetheus, dalam mitologi Yunani.
Ini dikarenakan sejak pertama kali terdeteksi, virus ini memang tak ubahnya kotak Pandora yang terbuka, yang isinya mengeluarkan segala macam teror dan hal buruk bagi manusia dan WHO baru-baru ini membuat pernyataan bahwa, “Virus Corona mungkin tidak akan hilang dari muka bumi”, yang membuat kita semua semakin menarik napas panjang karena kita harus memulai semuanya lagi menjadi ‘New Normal’, seperti yang sedang digaungkan pemerintah baru-baru ini.
Cukup variatif memang respon masyarakat terkait pernyataan ini. Ada yang memaklumi, ada pula yang menghujat. Jika kita tarik jauh lagi ke belakang perihal penanganan Covid-19 saat pertama kali muncul di Indonesia, akan kita dapati bahwa penanganan wabah ini tidak lepas dari pro-kontra. Entah karena kebijakan pemerintah yang terkesan gagap dan kurang tegas, ataupun kebebalan masyarakat Indonesia sendiri. Jangankan masyarakat Indonesia saja sih, masyarakat di berbagai negara pun banyak sekali yang merasa tetap ingin bebas, dan protokol kesehatan Covid-19 bukan hal yang penting, seperti kaum Nudis di Perancis yang beranggapan memakai masker tidak sejalan dengan gaya hidup telanjang yang dianut.
Jadi, rasanya enggak bisa lagi kita nanya, “Pemerintah yang tidak mampu atau rakyatnya yang bebal?”.
Jawabannya ya dua-duanya.
Mungkin tidak usah jauh-jauh jika ingin berbicara tentang bebalnya masyarakat kita. Tidak perlu sampai membahas perihal nostalgia berjamaah di tengah pandemi di sebuah gerai fast food beberapa waktu lalu, cukup lihat saja Instastory Instagram kita. Banyak teman-teman yang masih pamer kumpul-kumpul mereka dengan temannya kan? Inilah contoh kebebalan masyarakat di sekitar kita sendiri yang selalu merasa peraturan pemerintah hanya sebuah kekangan tanpa memikirkan bahwa aturan dibuat juga untuk kebaikan mereka sendiri.
Tapi, masyarakat bebal tentu juga akibat dari pemerintah yang membuat aturan yang terkesan ‘seadanya’, yakni tidak ada ketegasan, yang ada malah kelonggaran. Indonesia dikritik media Australia beberapa waktu lalu karena jumlah tes orang (bukan spesimen) sedikit. Indonesia terancam bahaya pandemi yang lebih besar, tapi jawaban pemerintah Indonesia dari setiap kritik sama sekali tidak saintifik dan selalu diulang seperti “terserah orang lain mau bilang apa” atau “yang penting target Presiden sudah terpenuhi”. Ini menandakan bahwa Kemenkes dan BNPB bekerja karena target Presiden, bukan bekerja karena sains atau standar umum.
Alam bawah sadar Kemenkes dan BNPB merasa sudah cukup bekerja jika target dari Presiden tercapai. Sungguh sesat pikir yang terjadi dari budaya salah yang terus dilestarikan. Padahal, dasar dari sains dan kreativitas adalah ragu dan beda.
Pola ajar pendidikan di Indonesia (warisan penjajah dan Orde Baru) seperti “pokoknya nurut saja sama yang senior atau tua atau atasan” atau “pemerintah pasti benar”. Siklus tersebut berulang terus puluhan tahun sampai mengakar. Dampaknya sangat luas ke peradaban dan budaya intelektual Indonesia, lalu kepada diskursus publik rendah, yang berdampak juga kepada pola pikir rakyat biasa; takut berpikir, takut beda, takut ragu, takut kritik negara sebagai penyedia jasa, padahal rakyat bayar pajak, dan pola pikir lembaga pemerintah yang miskin ide, seperti baru-baru ini mengadakan lomba melandaikan kurva Covid-19 yang berhadiah miliaran, padahal mending fokus buat kebijakan dan protokol yang reliable untuk kesehatan ekonomi.
Dan kalau mau nurunin kurva, dengerin saintis dibanding mengadakan lomba. Perlu diketahui, 55% orang Indonesia ‘functionally illiterate’, dampak dari pola ajaran pendidikan Indonesia yang salah, yang pada akhirnya saat situasi darurat seperti ini membuat keadaan tidak menjadi lebih baik. Maksud dari ‘functionally illiterate’ adalah sebagian orang Indonesia bisa baca tulisan, tapi tidak tahu konteksnya. Bisa membaca artikel, tapi bingung maksudnya apa. Yang paling parah, salah membaca konklusi dari sebuah tulisan. Jadi, percuma banyak baca buku, tulisan, atau artikel jika tidak paham konteks, analytical thinking-nya rendah, salah menyimpulkan permasalahan, apalagi ke solusi.
Akhirnya, pemerintahnya miskin ide yang menimbulkan tiap kebijakan yang dibuat tidak menyelesaikan masalah, malah rakyatnya tidak menganggap serius kebijakan yang dibuat, ditambah kemampuan literasi masyarakatnya juga rendah dan tidak bisa membaca kondisi realita sesungguhnya yang pada akhirnya berujung chaos. Pemerintah sendiri sampai sekarang mungkin tidak paham dengan konteks pandemi itu apa, juga kesulitan mencari titik seimbang dari economy vs public health. BNPB yang kelimpahan tanggung jawab bekerja karena standar Presiden, bukan based on standar sains di pandemi, sehingga menimbulkan reaksi di masyarakat seperti banyak middle class sudah berkumpul, tapi takut posting di medsos, takut viral. Kemudian banyak middle class meremehkan masker, physical distancing, lalu yang kritis by data dan sains dibilang penebar kebencian, negatif, atau suudzon.
Kalau low class, kasihan, gak sempat mikir dan memilih opsi. Karena opsinya cuma satu, “kalau saya gak kerja, keluarga saya gak hidup hari ini.” Inilah bukti fungsional bahwa pemerintah tidak paham konteks. Rakyat bingung sendiri, yang menjadikan tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak saja imbas tidak usainya atau sedikit meredanya pandemi di Indonesia.
Dari segala keanehan di atas, saya pribadi bingung juga. Mau saling menyalahkan. Gak warga, gak pemerintah, kelakuannya wagadigidigidaw. Semuanya ada di sini, di rumah kita. Maka, sebenarnya tidak ada yang tidak pusing di sini. Sampai sini, wajar saja ketika ada keputusan untuk berdamai dengan Corona. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah tetap jaga kekompakan, turuti protokol kesehatan, redam amarah, kawal pemerintah, dan jaga mereka yang rentan. Karena akhirnya kita harus akui, masih banyak yang kurang beruntung untuk bisa tetap makan walau hanya di rumah.
Mungkin, pemerintah bisa mengintip sedikit cara penanganan Covid-19 ke negara tetangga, yaitu Singapura. Berdasarkan penelitian oleh Deep Knowledge Group (2020) terhadap berbagai kategori, seperti kesiapan, efisiensi, deteksi, dan pemantauan terhadap Covid-19 oleh pemerintah, Singapura ditetapkan menjadi satu dari total 100 negara teraman dari Covid-19 di dunia. Pemerintah bersikap cepat tanggap dan didukung oleh kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Singapura.
Jika melihat kondisi masyarakat kita, mungkin jika menunggu sadar masyarakat untuk patuh terhadap kebijakan, bukan merupakan keputusan yang tepat karena kesadaran itu tumbuhnya lama dan kita sedang berlomba dengan penularan Covid-19 yang sangat cepat. Ketegasan kebijakan pemerintah merupakan hal yang sangat wajib. Berkaca kepada kepemimpinan Lee Hsien Loong, Perdana Menteri Singapura, gaya kepemimpinannya dalam penanganan Covid-19 terlihat lebih kepada gaya kepemimpinan situasional. Gaya kepemimpinan situasional merupakan gaya kepemimpinan dimana pemimpin bersikap fleksibel berdasarkan situasi dan kematangan bawahan dan organisasinya.
Dalam menangani Covid-19, Lee dan pemerintah Singapura melakukan tindakan-tindakan penanganan dengan menekankan pada situasi dan kondisi yang ada, serta memperhatikan kesiapan masyarakat untuk menghadapi Covid-19. Salah satu faktor penting yang dilakukan Singapura adalah melakukan edukasi kepada masyarakat. Pemerintah Singapura sudah melakukan pengendalian sejak 2 Januari 2020 dengan mengumumkan agar setiap rumah sakit yang ada menaruh perhatian kepada pasien yang diduga terjangkit Covid-19.
Pemerintah Singapura juga mewajibkan isolasi mandiri selama 14 hari bagi warga negaranya yang kembali dari China. Selain itu, sejak 3 Januari, di Bandara Changi sudah dilakukan pengecekan suhu tubuh. Lalu, melakukan koordinasi nasional yang baik karena belajar dari kondisi wabah SARS yang terjadi pada tahun 2003. Untuk itu, pemerintah Singapura membentuk Kerja Multi Kementerian (MTF), tepat sehari sebelum adanya konfirmasi kasus positif Covid-19 di negara tersebut.
Tindakan tersebut dilakukan agar setiap kementerian dapat terintegrasi dan beradaptasi terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dua hal inilah yang sepatutnya dijadikan contoh oleh pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi ini. Karena jika kebijakan masih kurang tegas walau sudah memasuki ‘New Normal’ sekalipun, jika kebijakan perihal protokol kesehatan masih belum bisa membuat masyarakat menaatinya, tentu ketegasan dan gaya kepemimpinan pemerintah kembali dipertanyakan, karena salah salah langkah memberlakukan ‘New Normal’ di saat kurva belum landai bisa malah menjadi pemicu gelombang kedua penyebaran virus yang bahkan mungkin lebih besar dari penyebaran pertama.
Tentunya jangan hanya mengandalkan pemerintah saja sebagai penutup kotak Pandora ini, karena kita harus sudah mawas diri bahwa kini waspada dan taat aturan adalah syarat wajib jika ingin terhindar maut.
Referensi :
https://geolive.id/sudut-pandang/berdamai-dengan-virus-corona/
http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/415
https://www.bbc.com/news/health-52758024
https://tirto.id/menguji-klaim-prabowo-soal-55-masyarakat-buta-huruf-fungsional-dakH
Penulis : Audi/BU
Editor : Thoby/BU