Bidikutama.com – Tulisan ini dibuat untuk merefleksikan kembali pikiran-pikiran yang sudah 1 abad lamanya. Pemikiran dari gadis jawa yang pada masa itu terkungkung dengan budaya patriarki, feodalisme, dan kolonialisme, yaitu Raden Ayu Kartini. Kita harus merayakan hari Kartini bukan lagi soal kebaya dan sosok ketubuhannya atau bahkan diperingati dengan lomba memasak. Sebab kartini tidak pantas hanya dinilai dari sosok tubuhya semata, melainkan ide-ide perlawanannya yang cemerlang tentang kesetaraan dan kebebasan perempuan justru itu yang harus kita rayakan.
Menggugat Tradisi; Alam Pikir Kartini.
“Seorang gadis jawa adalah sebutir permata, pendiam, tak bergerak-gerak seperti boneka kayu; bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai semut pun tak sanggup mendengarnya; berjalan setindak demi setindak seperti siput; tertawa halus tanpa suara, tanpa membuka bibir; sunggung buruk nian kalau giginya tampat seperti luwak” (Kartini, Surat kepada Ny.Abendanon, Agustus 1900).
Begitulah kondisi zaman yang dialami Kartini. Kondisi kebudayaan Jawa yang patriarki dari teks di atas penulis melihat bahwa perempuan dipersamakan dengan hewan seperti pada masa aristoteles yang memaknai perempuan sebagai “bayi bertubuh besar”. Kondisi budaya ini membuat Kartini tergugah pikirannya untuk menggugat tradisi dalam sebuah tulisan-tulisannya kepada sahabat penanya di Belanda hingga pikirannya menggegerkan dunia, menggoncang epistemik, menggentarkan intuitif.
Segala bentuk dominasi patriarki, pembodohan, feodalisme jawa, serta penindasan terhadap perempuan jawa dituangkan dalam bentuk tulisan yang dimuat di buku “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Walaupun penulis pesimis terhadap kondisi “Terang” sebuah utopia Kartini karna menurut penulis kondisi “Terang” yang dimaksud kartini adalah kondisi di mana perempuan bisa lepas dari belenggu adat istiadat.
Hal ini tidak cukup kuat melawan dominasi patriarki oleh Kartini seorang, dengan kata lain perempuan haruslah sadar, bersatu, dan melawan untuk mencapai kondisi idealnya. Karya sastra kartini yang ia tulis dalam bentuk surat kepada teman-teman Belandanya tentang kedaan kaum perempuan di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal, mereka terkukung kepada adat istiadat lama menempatkan posisi yang inferior.
Perhatian Kartini saat itu bukan hanya soal emansipasi perempuan saja, tetapi juga yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam pandangan Kartini perjuangan perempuan guna memperoleh kebebasan otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Cita-cita kartini terhadap perempuan adalah keinginan agar perempuan bisa bebas, berdiri sendiri, dan membebaskan perempuan-perempuan muda Indonesia dari kungkungan adat yang mengikat.
Kartini menuntut perbaikan kedudukan derajat wanita agar jangan hanya mengekor kepada adat istiadat yang patriakal. Perempuan Indonesia harus sadar akan kondisinya yang pada masa itu tertindas oleh dominasi patriaki, perempuan harus menjadi orang-orang terpelajar dan bersatu untuk melawan dominasi itu. Seperti perkataan Nawal El Sadawi, salah satu aktivis feminis mesir berkata “Unity is power; without unity women cannot fight for their rights anywhere.” Persatuan juga perlu untuk melawan dominasi yang besar itu.
“Saya putus asa, dengan rasa pedih-perih saya puntir-puntir tangan saya menjadi satu. Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu….” (Kartini, surat kepada, N.Van Kol, 19 Agustus 1901)
Kartini menyadari bahwa ketidakmampuan dia untuk melawan dominasi itu sendirian. Kartini adalah refleksi kritis dari stratifikasi sosial yang hierarkis feodalistik. Gagasan ini merupakan embrio dari munculnya ide emansipasi sudah selayaknya untuk saat ini perempuan ditempatkan dalam proporsi yang semestinya.
Dalam pandangan Kartini, alam pikir adalah kemampuan untuk memahami dan menganalisis segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Ia menganggap bahwa manusia memiliki potensi untuk mengembangkan alam pikirnya melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Menurut Kartini, alam pikir yang berkembang akan memungkinkan seseorang untuk lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan.
Kartini juga mengemukakan pentingnya membuka pikiran untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Menurutnya, manusia harus belajar untuk menghargai perbedaan dan menerima keragaman dalam pandangan hidup, budaya, dan agama. Dengan membuka pikiran dan menghargai perbedaan, seseorang dapat lebih memahami dan menghormati orang lain, serta dapat membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya.
Selain itu, Kartini juga mengemukakan pentingnya mempertahankan kepercayaan pada diri sendiri. Ia menekankan bahwa setiap orang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri, dan bahwa kesuksesan dalam hidup tidak selalu diukur dari keterampilan atau keahlian tertentu. Menurut Kartini, kesuksesan dalam hidup ditentukan oleh kemampuan untuk menghadapi tantangan dan rintangan dalam hidup.
Kartini tidak pernah terlibat dalam gerakan, apalagi mengorganisir demonstrasi lokal. Sebagai protes, ia mencoba menggunakan tulisannya untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Tulisan mereka tidak dalam bahasa Melayu atau Jawa tetapi dalam bahasa Belanda dan ditujukan kepada teman-teman Belanda mereka di Negeri Belanda. Apakah karena Kartini menyadari bahwa jika dia menggugat rakyatnya secara langsung, tulisannya akan diabaikan? Atau malah bisa membahayakan dirinya sendiri jika pemikirannya diperhatikan oleh komunitasnya sendiri? Padahal, pemikiran Kartini tidak ada yang istimewa pada masanya.
Beberapa pemikir lain seperti Dewi Sartika juga memiliki gagasan progresif tentang hak-hak perempuan. Bahkan, pada tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan sekolah bernama “Sekolah Istri”. Maka semangat Kartini saat itu adalah semangat yang dirasakan sebagian perempuan saat itu juga. Ditambah kritik Kartini yang akhirnya tunduk pada budaya patriarki dan menikah dengan pria yang sudah menikah. Apakah karena Kartini tidak bisa menolak permintaan ayahnya? Ataukah Kartini tak mampu melepaskan diri dari kepungan budaya patriarki yang begitu mengakar dan mengakar?
Kartini bukan sekadar kebaya. Namun makna kebaya Kartini harus dimaknai secara kritis. Pemikiran Kartini masih harus ditangkap untuk menyempurnakan “kebaya”. Merajut ide-ide Kartini ke setiap ruang dan sudut bangsa dan menjadikan bangsa kritis yang menghargai kesetaraan.
Mengutip buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan” karya Ester Lianawati tentang kartini yang disebutkan bahwa meski di tengah kondisi yang terpukul, dirinya tidak tinggal diam. Seorang Kartini yang saat itu berada dalam masa pingitan ternyata masih memiliki tujuan yang jelas meski kebebasannya telah terenggut.
Sutan Lison Esmirhan, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa