Bidikutama.com – Mahasiswa sudah bukanlah golongan baru yang ada di Indonesia, melainkan mahasiswa sudah menjadi golongan yang memiliki pengaruh besar dan penting dalam gerakan politik, yang akhirnya menyebakan kehancuran struktur masyarakat jajahan. Identitas mahasiswa saat ini bukan hanya sebagai pemuda/i yang sedang menuntut ilmu di jenjang universitas atau perguruan tinggi, melainkan mahasiswa sekarang identik dengan label heroism seperti agent of change, iron stock, guardian of value, moral force, dan social control. Labelisasi tersebut dalam prosesnya adalah kontruksi yang dilakukan oleh rezim Soeharto pada masa orde baru setelah sebelumya mahasiswa berperan penting dalam menggulingkan rezim Soekarno dengan melakukan genosida terhadap kaum intelektual kiri (komunis dan soekarnois) dan pembantaian terhadap jutaan orang yang memiliki afiliasi (termasuk yang diduga) dengan PKI, serta mengadili ratusan ribu orang kiri.
Kontruksi gerakan mahasiswa oleh penguasa merupakan bagian dari upaya mahasiswa untuk mempertahankan status quo. Status quo yang dimaksudkan adalah segenap upaya yang dilakukan mahasiswa untuk mempertahankan dan menjaga negara pada kondisi dan keadaan sebelumnya, sehingga akhirnya bentuk progresi dari gerakan mahasiswa dilucuti hingga memunculkan apa yang disebut dengan gerakan moral. Akibat gerakan moral ini mahasiswa dianggap tidak memiliki kepentingan kekuasaan dalam hati dan kepala mereka. Mereka memainkan moralitas untuk mengkritisi penguasa, kadang diwarnai dengan melakukan aksi, mengeluarkan pernyataan sikap, aksi teartrikal serta kampanye. Akibat pergerakan mahasiswa ini, mereka diibaratkan oleh masyarakat Jawa seperti seorang resi, mereka datang ketika keadaan sudah genting dan dengan kekuatan moral mencoba menjadi roda perubahan. Akibat dari sejarah-sejarah pergerakan mahasiswa membuat mahasiswa kerap disebut sebagai kaum intelektual atau cendekiawan. Pemikiran-pemikiran yang timbul dari kepala para mahasiswa dinilai sangat liar dan bersifat mendalam dan kritis. Namun sangat disayangkan bahwa nama mahasiswa di Indonesia mulai tercoreng karena perbuatan dari mahasiswa itu sendiri. Rasa perjuangan keadilan mahasiswa mulai pudar seiring mengalirnya waktu. Sikap perjuangan telah berubah menjadi sebuah perlombaan dalam berebut eksistensi. Esensi-esensi yang ada dalam gerakanya mulai menghilang, larut dalam lautan kepentingan.
Mahasiswa saat ini lebih seperti “pelacur intelektual”, hal ini ditandai dengan pengkhianatan mereka terhadap gerakan moral yang bersifat tanpa kepentingan. Sebutan “pelacur intelektual” ini mulai dikenal sejak tulisan kritis Soe Hok Gie yang merupakan aktivis mahasiswa era 66. Dia membuat tulisan ini bertujuan untuk menyikapi nasionalisme di negara yang cacat ini pada zamannya. “Pelacur intelektual” ini diperuntukan untuk orang-orang yang intelektual tetapi tidak memiliki konsepsi. Mengatasnamakan nasionalisme, mereka “melacurkan” dirinya untuk sebuah eksistensi belaka agar dia memiliki suara dalam pemerintahan. Virus “pelacur intelektual” ini sudah mulai identik dengan mahasiswa karena mahasiswa dari dulu sudah sangat erat dengan gerakan politik. Sehingga membuat mereka rela membuang konsepsi mereka demi kepentingan mereka, meskipun dalam prosesnya harus membenarkan hal yang sebenarnya dia tahu bahwa itu salah. Sebagai contoh, banyak mahasiswa yang turun ke jalan membela pemberantasan korupsi, akan tetapi di dunia kampus masih banyak dilakukan korupsi dana oleh para organisasi mahasiswa (ormawa) yang ada, mereka memulai perbuatan korupsi dengan embel-embel pengajuan proposal dana untuk sebuah acara. Dalam hal ini rincian dana yang di dalamnya selalu saja ada yang dibesar-besarkan dan dilebihkan dengan alasan takut harga di lapangan nanti tidak sesuai. Secara teori hal ini memang benar, dimana kita juga harus memikirkan hal-hal yang tak terduga dalam bertindak, akan tetapi di lapanganya hal ini justru disalahgunakan oleh mereka dengan cara melakukan penggelapan nota agar ketika dilaporkan ke pihak rektorat dana yang diterima oleh mahasiswa tidaklah ada sisa, agar uang itu tidak kembali lagi ke pihak rektorat, melainkan masuk ke dompet para mahasiswa. Dalam penerapan sistem politik di kampus pun tak jauh berbeda dengan sistem kepentingan yang ada di pemerintahan, yakni dilihat dari banyaknya mahasiswa yang memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan keistimewaan pada dirinya.
Contoh yang lebih kecil lagi mungkin ketika kita menuntut pemerintah tentang hak-hak kebebasan berpendapat masyarakat, namun di dunia kampus sendiri pun kita belum sepenuhnya menghargai dan menerima pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan konsepsi diri kita. Yang ada justru ketika kita menemui hal ini, kita identik dengan saling menjatuhkan dengan menyatakan pendapat dia salah secara terang-terangan seperti kita jadikan konten untuk bahan hujatan di media sosial kita. Bukankah ini kita menodai hak kebebasan berpendapat itu sendiri? Tidak bisakah kalau kita simpan hal itu dan kita lakukan diskusi bersama secara baik-baik tanpa harus melakukan cyber bullying?
Contoh lainnya adalah redupnya para aktivis mahasiswa ketika sudah masuk ke parlemen, bahkan lebih parahnya lagi bisa dikatakan sudah tidak punya semangat perjuangan lagi untuk perubahan. Mereka justru lebih memikirkan kenikmatan untuk diri mereka sendiri. Seperti halnya yang disampaikan oleh Ahmad Doli Kurnia dan Embay Supriyanto, mantan aktivis 98, yang menyampaikan kekecewaanya secara terang-terangan terhadap teman-temannya yang sudah duduk di parlemen, dalam salah satu berita yang diangkat oleh Kompas. “Pelacur intelektual” di kalangan mahasiswa pun mulai semakin nyata dan terang di mata masyarakat dengan munculnya gerakan aksi Aliansi BEM Jakarta yang menanggapi tentang menolak kebijakan fasilitas hotel untuk tenaga medis dalam masa Covid-19. Hal ini menjadi pertanyaan besar di masyarakat karena aksi ini menanggap bahwa para mahasiswa sudah tidak memiliki empati lagi, dan juga disusul dengan berita berita klarifikasi dari BEM Universitas yang sebelumnya dinyatakan ikut bergabung dalam aksi ini. Klarifikasi ini mengatakan bahwa BEM Universitas tersebut tidak ikut andil dalam aksi Aliansi BEM Jakarta ini. Lalu, siapakah dalang sebenarnya yang mendasari peristiwa ini terjadi?
Bisa dilihat dari kejadian ini bahwa pemikiran mahasiswa sangatlah gampang digunakan untuk kepentingan orang lain atau kelompok tertentu untuk eksistensi belaka. Tuntutan tuntuan yang dilancangkan mahasiswa akhir-akhir ini mulai terlihat seperti bertuan. Alih-alih menjadi guardian of value, kaum intelektual ini mengkhianati intelektualitas mereka sendiri dan merubah dirinya menjadi budak kepentingan parsial-individual dengan bersenjatakan alibi dan tipu daya atas nama kepentingan rakyat. Pada dasarnya gerakan mahasiswa merupakan sebuah gerakan moral yang memiliki empat batasan pembeda dari gerakan politik progresif. Empat batasan ini yaitu: pertama, gerakan moral menolak adanya aliansi bersama gerakan rakyat atau politik massa demi menghindari kepentingan politik agar tetap atas nama kemurniaan gerakan. Kedua, gerakan moral tidak memiliki ambisi dan kepentingan pribadi ataupun kelompok terhadap kekuasaan. Hanya ada memperjuangkan kebenaran tanpa meminta sumbangsih dari aksi tersebut. Ketiga, gerakan moral lebih berupa tuntutan koreksi dan peringatan. Terhadap adanya radikalisasi gerakan yang bisa mengancam stabilitas. Keempat, gerakan moral menampilkan diri mereka sebagai resi, agent of change, kaum cendekiawan, roda perebuhan, dan juga kontruksi heroism yang lainnya.
Karena adanya batasan tadi, gerakan moral bisa dibilang sebagai gerakan yang selaras dengan ideologi kelas menengah. Keintelektualan mereka diperuntukan untuk mendukung hierarki pengetahuan di antara masyarakat. Tuntutan–tuntutan yang ada mengarah ke tendensi pembebasan sosial serta pembelaan terhadap kelas bawah. Seperti contohnya tentang nasionalisasi aset, kebijakan pro rakyat, dan kedaulatan. Akan tetapi hal ini mulai tidak berlaku dan terlihat di lapangan, masyarakat banyak yang menolak atau tidak suka dengan gerakan mahasiswa, dan pemeritah pun tidak terlalu khawatir dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa. Lalu, sebenarnya kita bergerak untuk siapa? Mengataskannamakan rakyat tetapi rakyat banyak yang tidak mendukung. Ini menjadi sebuah tanda tanya besar bahwa gerakan mahasiwa hanyalah sebuah tipu daya untuk mendapatkan sebuah akses jalan masuk ke pemerintahan. Berkoar-koar di dalam kampus dengan frontal, namun ketika berkoar di luar menutupinya dengan pemikiran-pemikiran yang jauh berbeda dengan yang dia lakukan di kampus. Aksi gerakan mahasiswa saat ini diibaratkan dengan berangkat bawa pedang tajam, pulang-pulang bawa puluhan koper berisi ratusan lembar uang. Mahasiswa sudah melekatkan dirinya terhadap konsepan “pelacur intelektual”, mereka mau pemikiran atau tuntutan-tuntutan mereka dibalas dengan lembaran kertas atau dengan eksistensi nama mereka di masyarakat. Nilai-nilai sistem moral yang bersifat absolut sudah mulai luntur dalam diri mahasiswa ketika menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Pudarnya nilai absolut ini membuat terjadinya ketidakseimbangan dalam penggunaan nilai–nilai sistem moral relatif atau teoritis. Sehingga, yang awalnya mahasiswa disebut sebagai agent of change and guardian of value berubah menjadi agent of money and guardian of existence.
Rakyat saat ini membutuhkan kita yang dulu, mahasiswa yang benar benar berangkat dengan gerakan moral tanpa bertuan. Sudah saatnya kita bersama-bersama mengawal keadilan di negeri ini. Sudah waktunya untuk kita menjadi roda perubahan, kaum cendekiawan, dan pemuda/i intelektual. Percaya atau tidak, sekecil apapun nama kalian di kalangan luar, kalian akan tetap bisa membawa perubahan di negeri ini dengan tetap menjadi mahasiswa yang sebenarnya. Mahasiswa yang sesuai dengan label-label heroism-nya. Mahasiswa ada untuk menjadi penjaga keseimbangan dalam sebuah negara, oleh karenanya mari kita sama-sama menjaga nama baik mahasiswa dan terus berjuang untuk hal-hal yang baik, berjuang untuk perubahan yang disertai rasa keadilan absolut tinggi dan tanpa mengejar sebuah eksistensi, jangan meminta balasan akan aksi yang kita lakukan.
Mungkin kalau bisa saya ibaratkan dengan sebuah pernyataan singkat dari pandangan saya, yaitu mahasiswa adalah sebuah keajaiban yang ada di dunia ini. Saya sendri pun tak luput dari kesalahan-kesalahan ini, oleh karenanya saya berharap tulisan ini bisa menjadi pemantik untuk kita semua agar bisa mengevaluasi diri kita, terutama dalam aspek peran sebagai mahasiswa. Yang saya rasakan saat ini, belum tentu kalian merasakan hal yang sama, tapi tak ada salahnya kita untuk mencoba mempertanyakan diri kita sendiri, tentang sudahkah kita menjadi seorang mahasiswa yang selayaknya menjadi mahasiswa yang sebenarnya. Saya percaya bahwa kita merupakan kumpulan orang baik dan sebagai perwujudan dari keadilan di dunia ini.
Referensi :
Agus Pramusinto dan Yuyun Purbokusumo. 2016. Indonesia Bergerak 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Soe Hok Gie. 1995. Zaman Peralihan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Artikel Berita Suara.com “Aliansi BEM Bergema Protes Hotel Bintang Lima bagi Tenaga Medis Covid-19”
Artikel Berita Kompas.com “Di mana Aktivis 98 di Parlemen?”
Penulis : Andi/BU
Editor : Thoby/BU