Bidikutama.com – Bulan September kemarin menjadi bulan yang bersejarah bagi gerakan mahasiswa. Mahasiswa milenial yang kerap kali dituduh tidak progresif seperti pendahulunya nyatanya mampu mendeteksi ketidakberesan wakil rakyat yang telah dipilih oleh rakyat pada pemilu. Wakil rakyat yang diharapkan bisa menampung aspirasi masyarakat justru tampil mengecewakan dan menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Jika kita bertanya kepada masyarakat di pedesaan apa alasan mereka memilih calon legislatif pada saat pemilihan umum, kebanyakan dari mereka menjawab hanya ingin hadiah dari para caleg. Hadiah di sini adalah barang yang dibagikan kepada pemilih berupa sembako, pakaian, atau bahkan uang. Artinya rakyat memilih para legislator bukan karena kelayakan mereka untuk duduk di kursi parlemen, tapi lebih karena tindakan balas budi. Kegiatan seperti ini dinamakan politik transaksional atau politik jual beli. Hal yang sebenarnya terlarang namun lazim terjadi di kalangan masyarakat menengah bawah. Siapa yang salah atas budaya politik yang tidak sehat seperti ini. Jika masyarakat cerdas, harusnya mereka menolak setiap perbuatan politik transaksional. Namun jika ditelusuri lebih dalam, budaya ini terjadi karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap para calon wakil rakyat. Masyarakat sudah muak dengan berbagai janji politik yang ditawarkan namun seringkali tidak terealisasi. Janji hanyalah janji, perwujudannya urusan nanti. Ditambah mereka yang tampil pun hanya turun ke masyarakat ketika masa kampanye, di luar itu mereka tidak mau bersinggungan dengan rakyat kecil. Hal inilah yang kemudian menimbulkan budaya politik transaksional, dimana para caleg menyuap masyarakat karena ragu akan suara konkretnya, dan masyarakat menerima pemberian para caleg karena ketidakpercayaan akan janji politik yang ditawarkan. Jadi masyarakat berpikir, terima saja hadiah dari mereka, toh janji politik hanyalah jualan di masa kampanye, tidak akan diwujudkan juga.
Budaya seperti ini rawan menghasilkan wakil rakyat yang tidak berkompeten. Calon yang berkualitas kalah dengan calon yang bermodal. Suara bisa dibeli, sedangkan yang dipertaruhkan adalah nasib rakyat. Ketakutan seperti ini wajar adanya. Karena tugas wakil rakyat adalah membawa aspirasi yang timbul dari keinginan masyarakat luas. Artinya mereka akan membawa keinginan rakyat itu di parlemen untuk diwujudkan oleh lembaga eksekutif. Salah satu wujud implementasi dari keinginan masyarakat itu akan dilahirkan dalam produk undang-undang atau hukum. Tulisan ini akan membawa tema hukum sebagai produk politik, atau dengan kata lain politik determinan atas hukum. Jadi hukum di sini dilihat sebagai undang-undang. Jika ada yang berpendapat sebaliknya itu sah-sah saja, karena dalam kajian ilmu sosial tidak ada kebenaran mutlak, sesuatu bisa menjadi benar tergantung dasar yang kita pakai untuk berpendapat.
Dalam melihat lahirnya hukum, kita bisa membagi sifat hukum menjadi dua, yaitu responsif dan ortodoks. Responsif artinya produk hukum yang lahir membawa aspirasi rakyat atau lahir dari kebutuhan rakyat, sedangkan ortodoks adalah hukum yang satu arah, lahir atas dasar keinginan penguasa menjadi pengendali atas rakyatnya. Dalam hal lahirnya produk hukum nasional berupa RKUHP, kita harus bisa menilai RKUHP itu responsif atau ortodoks. Jika melihat semangat dibuatnya RKUHP, ada semangat dekolonisasi mengingat KUHP yang lama merupakan produk turunan dari kolonial Belanda. Hukum yang dibuat penjajah jelas akan membawa kepentingan jajahan. Motivasi ini sebenarnya sangat bagus karena sudah saatnya bangsa ini lepas dari hukum penjajah. Karena inti dari proklamasi kemerdekaan adalah nasionalisasi segala lini, termasuk produk hukumnya. Tidak etis rasanya negara yang sudah menyatakan diri merdeka namun masih terbelenggu hukum negara penjajah. Dari segi kultur budaya pun, kita sangat berbeda dengan Belanda. Harusnya hukum yang dipakai menyesuaikan dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sebut saja Burgerlijke Wetboek (KUH Perdata), Wetboek van Koophandel (KUHD), dan Wetboek van Strafrecht (KUHP) merupakan produk turunan dari Belanda. Hukum negara Belanda yang eropa continental diterapkan di Indonesia yang sebenarnya lebih mengarah kepada common law. Indonesia memiliki budaya hukum tidak tertulis atau hukum adat. Dengan adanya hukum kodifikasi ini, peran hukum adat jadi tidak dominan. Hukum adat adalah hukum yang lahir dari masyarakat. Penolakan RKUHP membuat kita bertanya, apakah pasal-pasal dalam RKUHP membawa nilai yang hidup di masyarakat atau tidak. Jika memang RKUHP membawa nilai ke-Indonesiaan, harusnya tidak ada penolakan yang masif dari masyarakat. Atau bisa jadi, sebenarnya masyarakat yang tidak paham akan isi dari karya anak bangsa tersebut. Tapi, kita tidak bisa menyalahkan masyarakat. Meminjam kalimat dari Rocky Gerung, bahwa “jangan menyuruh masyarakat untuk membaca undang-undang, tugas pemerintah adalah membuat masyarakat tidak resah atas lahirnya undang-undang”. Keresahan masyarakat luas terhadap RKUHP bisa dimaklumi, karena KUHP merupakan hukum publik yang nantinya berlaku bagi semua warga negara. Artinya jika RKUHP bermasalah, maka semua masyarakat terancam. Namun seberapa bermasalah pasal-pasal di RKUHP, kita harus menilainya secara objektif. Dari ratusan pasal di RKUHP hanya sedikit sebenarnya yang dianggap bermasalah. Misalnya pasal tentang aborsi, gelandangan, penghinaan presiden, pasal tentang perdukunan, pemerkosaan istri, kumpul kebo, dan lansia diatas 75 tahun tidak dipidana. Penolakan terhadap pasal-pasal ini timbul karena mayoritas masyarakat merasa privasinya terusik oleh aturan yang dibuat. Saya menduga pembuatan rancangan undang-undang ini tidak melibatkan berbagai kalangan. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U. dalam bukunya ‘Politik Hukum’, bahwa di negara dengan sistem politik demokratis seharusnya dalam setiap pembuatan undang-undang harus melibatkan banyak pihak. Karena aturan dibuat untuk kepentingan masyarakat, sehingga menghasilkan hukum yang berangkat dari keinginan masyarakat atau responsif. Berbeda dengan politik otoriter, hukum dibuat semau penguasa tanpa melibatkan keinginan rakyat sehingga menghasilkan hukum yang ortodoks.
Indonesia yang menganut Trias Politica harusnya memang berada digaris demokratis, sehingga berbagai hukum yang dihasilkan sifatnya responsif. Walaupun berbicara RKUHP kita harus melihat pasalnya secara utuh dan juga tanpa melewatkan Buku Satu, namun penolakan atas kehadiran RKUHP terindikasi bahwa beberapa pasal memang tidak sesuai atas keinginan masyarakat. Solusi terbaik atas permasalahan ini adalah membahas kembali pasal yang bermasalah dengan melibatkan pihak-pihak yang pro rakyat jika dirasa wakil rakyat tidak menjalankan tugasnya sebagai wadah aspirasi masyarakat. Karena bagaimanapun, kita perlu hukum yang sesuai dengan norma yang hidup di masyarakat. RKUHP perlu disahkan, sosialisasi kepada masyarakat melalui media juga penting supaya tidak ada lagi aksi penolakan. Mengkaji pasal di RKUHP penting agar tidak ada logical fallacy terhadap RKUHP. Namun untuk melakukannya perlu dasar ilmu hukum yang baik. Bukankah tidak semua masyarakat mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Pemerintah dan pers harus berjalan seirama untuk suksesnya RKUHP. Sebagai penulis, saya tidak memposisikan diri pro atau kontra terhadap RKUHP. Saya hanya mencoba berpikir dari dua sisi. Karena memang di RKUHP tidak semua pasalnya bermasalah, bahkan dari pasal yang dianggap bermasalah pun beberapa setelah dikaji lebih lanjut sebenarnya bagus jika diterapkan. Tapi kembali lagi, tugas yang berwenang untuk membuat pasal-pasal yang tidak menimbulkan multitafsir, karena multitafsirnya pasal dalam undang-undang adalah ciri dari hukum yang ortodoks. Apakah RKUHP cerminan dari hukum responsif atau ortodoks, pembaca harus membangun opininya sendiri. Karena tulisan ini bukan bertujuan untuk menggiring opini, tapi hanya sebagai teman diskusi satu arah. Sekian, semoga bermanfaat.
Penulis: Aan Hasanudin, mahasiswa semester V jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)
Editor: Thoby/BU