Bidikutama.com – Belakangan ini ramai diperbincangkan statement kontroversi yang dikeluarkan oleh Bu Tjijik, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Ristek (Dirjen Dikti) perihal “Pendidikan tinggi hanya tersier di Indonesia, jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak semua lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atapun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) wajib masuk Perguruan Tinggi”. Minggu (19/5)
Sepakat dengan narasi “tidak semua lulusan SMA/SMK wajib masuk Perguruan Tinggi” karena memang pada dasarnya Pendidikan Tinggi diemban atas kesadaran dan kemauan seseorang. Orang yang pemikirannya terbuka, menyadari pentingnya ilmu dalam kehidupan dan sadar bahwa ilmu pengetahuan menjadi salah satu senjata tempur di zaman sekarang, sehingga pendidikan harus diprioritaskan. Berbeda dengan orang yang memang tidak menaruh perhatian lebih atas pendidikan, mungkin pendidikan akan dinomor 2, 3 atau 4-kan. Pada faktor lainnya, pendidikan memang tidak bisa dipaksakan kepada siapapun, atas dasar apapun. Namun, bukan berarti kita harus terus mengikuti dan terkungkung terus menerus, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengikis pola pikir kolot itu, karena faktanya, pendidikan berperan penting dalam kehidupan, siapapun orangnya. Statement yang disampaikan perihal “Pendidikan tinggi adalah tersiernya Indonesia” itulah yang perlu digaris bawahi.
Pertama, tersier sendiri berarti kebutuhan yang bersifat mewah. Dengan kata lain, ketika seseorang yang memiliki keterbatasan finansial perlu merasa takut dan khawatir ketika ingin melanjutkan pendidikan ke strata yang lebih tinggi karena dirasa tidak akan mampu untuk memenuhinya. Kembali lagi pada pemaknaan tersier itu sendiri yang artinya “mewah”. Padahal, jika kita menilik ke dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea ke-4 yang menyatakan bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. dst…” Sudah jelas disampaikan bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan suatu hal yang wajib dipenuhi, bahkan dicantumkan dalam UUD Negara Indonesia. Artinya, negara pun memiliki andil dalam mencerdaskan anak bangsa, yang salah satu upaya nyatanya ialah dengan memastikan masyarakatnya mengenyam pendidikan yang layak, bahkan terus melanjutkan ke strata lebih tinggi tanpa ada rasa takut dan khawatir.
Kedua, pernyataan ini sangat disayangkan karena terlontar dari pihak kemendikbudristek yang notabenenya adalah penyokong pendidikan. Pihak yang seharusnya membuat masyarakat menyadari urgensi pendidikan, sebagai fasilitator pendidikan dan pihak yang paham betul perihal pendidikan serta segala dampaknya, malah dengan lantangnya berkata bahwa “pendidikan adalah tersier di Indonesia” yang secara tidak langsung mendoktrin masyarakat untuk ragu dalam melanjutkan pendidikan.
Ketiga, sejak kapan kuliah (mengenyam pendidikan) adalah kebutuhan tersier? Sedangkan kita semua tahu kalau pendidikan sebetulnya kebutuhan dasar bagi penerus bangsa. Lihat negara yang tergabung dalam Group Of Seven. Amerika Serikat, Britania Raya, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis. Mereka yang memprioritaskan pendidikan berhasil menjadi negara adikuasa, karena apa? Karena mereka pegang senjata utamanya. Ibaratnya, ketika satu otak bekerja, otot akan kalah meskipun jumlahnya puluhan. Oke, kalau kita bandingkan dengan negara G7 gak apple to apple, coba lihat negara yang sama berada di kawasan Asia. Korea, Jepang, misalnya. Lihat keberhasilan mereka dalam dunia pendidikan. Satu orang anak jepang dengan kemampuan akademiknya, mungkin bisa mengalahkan 10 orang anak Indonesia (untuk saat ini).
Keempat, mayoritas peluang kerja dimiliki oleh para sarjana. Kenapa? Coba lihat fakta lapangan di negara Kita, berapa banyak lowongan pekerjaan yang mencantumkan S1, D3 atau D4 sebagai syaratnya. Belum lagi dengan besaran IPK yang sudah ditentukan.
Lantas, bagaimana bisa kuliah ditersierkan, sedangkan mengenyam pendidikan adalah hak semua warga negara dan sadar maupun tidak, ini mulai terasa seperti kewajiban.
Penulis : Annisa Iktamiyah/Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Untirta
Editor: Ardhilah/BU